Selasa, 13 Maret 2018

Istihsan, Istishhab, Maslahah Mursalah (PAI A Semester Genap 2017/2018)




HUKUM FIKIH YANG IKHTILAF
(ISTIHSAN, ISTIHSAB, MASALATUL MURSALAH)

Muhammad Amin Mushfi Salam, M. Afiqul Adib, Rafi Muta’ali
Mahasiswa PAI-A angkatan 2015 Semester VI
Universitas Maulana Malik Ibrahim Malang
Email: afiquladib@gmail.com

Abstract
This article discusses Islamic law that mukhtalaf or law that is still debate by the scholars with their respective reasons, either from among imam syafi'I, maliki, hanbali or other imams that can be made handle in bermadzab. either from among imam syafi'I, maliki, hanbali or other imams that can be made handle in madzab. Some of the laws of ikhtilafi are: Istihsan, Istishab, Maslahatul Mursalah, Al Urf, Saddudzara'I, Madzhab Shahabat, Sar'u Man Qablana, and others. But in this article only discuss about Istihsan, Istishab, and Maslahatul Mursalah. Which some of these ikhtilaf laws also have a condition in the settlement of some things that are not in the Qur'an and sunna, so that the scholars frugal in determining the existing law according to the development of the era. Some scholars consider Istihsan, Istishab, and Maslahatul Mursalah allowed, but some others think it should not, there are also some that may have some requirements. But differences of opinion from the scholars is not a disgrace for the Muslims, precisely these differences denote the clergy of the scholars of course to determine a law.
Key word : Sources of Islamic Law, Ikhtilaf, Istihsan, Istishab, Maslahatul Mursalah.

Abstak
Artikel ini membahas tentang hukum Islam yang ikhtilaf atau hukum yang masih diperdabatkan oleh kalangan ulama dengan alasan mereka masing-masing, baik dari kalangan imam syafi’I, maliki, hanbali atau imam lain yang bisa dibuat pegangan dalam bermadzab. Beberapa hukum ikhtilafi yaitu: Istihsan, Istishab, Maslahatul Mursalah, Al Urf, Saddudzara’I, Madzhab Shahabat, Sar’u Man Qablana, dan lain-lain. Namun dalam artikel ini hanya membahas tentang Istihsan, Istishab, dan Maslahatul Mursalah. Yang mana beberapa hukum ikhtilaf tersebut juga terkadang diperlukan dalam memecahkan beberapa persoalan yang tidak ada di dalam Alquran dan sunah, sehingga mengharuskan para Ulama memaksimalkan akalnya dalam menentukan hukum yang ada sesuai perkembangan jaman. Beberapa Ulama menganggap Istihsan, Istishab, dan Maslahatul Mursalah adalah boleh, namun sebagian lagi menganggapnya tidak boleh, ada juga yang boleh namun ada beberapa persyaratan. Namun perbedaan pendapat diantara para Ulama bukan merupakan aib bagi kaum Islam, malah perbedaan tersebut menandakan para Ulama memaksimalkan akal mereka untuk menentukan suatu hukum.
Kata Kunci: Sumber Hukum Islam, Ikhtilaf, Istihsan, Istishab, Maslahatul Mursalah.

A.  Pendahuluan
Islam dalam bahasa arab yaitu salam, yang dimaknai damai. Islam itu damai, atau bisa dikatakan damai ituislam. Kita semua tahu sumber hukum Islam adalah alquran dan sunah yang merupakan induk dalam segala sumber hukum islam. Namun kenyataannya Rosulullah tidak pernah membahas tentang penggantinya setelah beliau wafat, tidak pernah membahas dari golongan mana atau sebagainya. Karena itu setelah wafatnya Rosulullah, yang dipermasalahkan pertama adalah soal suksesi atau pengganti beliau.[1] Dari sana berkembanglah aliran-aliran dalam Islam dan dari sana dimulailah kebebasan berpikir dan pemaksimalan akal untuk memahami alquran dan sunah. Karena kita tau teks itu statis, namun realita itu dinamis. Dari jaman dulu sampai hari ahir, alquran akan tetap 30 juz, namun persoalan manusia semakin kompleks. Islam di haruskan bisa memberi solusi untuk keadaan yg sudah barang tentu tidak dijelaskan dalam alquran dan sunah. Dari sinilah mulainya perbedaan dalam memahami hukum Islam.
Segala ilmu yang berkembang dalam Islam tetap berpedoman dengan Alquran dan sunah, tidak bisa berdiri sendiri dengan mengabaikan induk segala hukum Islam yaitu Alquran dan sunah. Begitu juga dengan Ushul Fiqh, ilmu ini berkembang dengan tetap berpedoman pada induk hukum Islam, ilmu ini juga tidak lahir secara instan, melainkan bibitnya sudah ada pada jaman Sahabat dan mulai berkembang seiring perkembangan pada jamannya.[2]
Dalam perkembangannya ada sumber hukum Islam yang dapat diterima, ada sumber hukum Islam yang ikhtilaf (perbedaan pendapat di antara ahli hukum Islam). Kebanyakan ahli hukum Islam bersepakat bahwa sumber hukum Islam adalah Alquran dan sunah.[3] Sedangkan yang diperdebatkan (ikhtilaf) salah satunya adalah Istihsan, Istihsab, dan maslahatul mursalah. Namun perbedaan tersebut bukanlah suatu masalah, Islam sangat menghargai adanya perbedaan, bahkan Allah pun mau kita berbeda, karena dengan berbeda kita bisa bersama. Karena berbeda maka ada yang mencintai da nada yang dicintai, ahirnya kita pun bisa saling mencintai. Dalam makalah ini akan dibahas tentang mengenai salah satu Hukum Islam yang Ikhtilaf, yaitu Istihsan, Istihsab, dan Maslahatul Mursalah.



B.  Istihsan
1.    Pengertian
Secara etimologi istihsan berasal dari kata al-hasan yang berarti sesuatu yang baik. Dengan adanya huruf tambahan alif, sin dan ta’, maknanya menjadi menganggap baik sesuatu.[4]Pengertian Istihsan terdapat arti ataupun redaksi yang berbeda di antara para ulama, misalnya al-Sarakhsiy menta’rifkan:
“Istihsan ialah meninggalkan qiyas dan menggunkaan yang lebih kuat daripadanya karena adanya dalil yang menghendaki dan lebih sesuai untuk mewujudkan kemaslahatan manusia.” [5]
Sedangakan argument lain yang  diberikan oleh al-Bazdawiy sebagaimana dikutip oleh Abdul Karim Zaidan bahwa istihsan adalah:
“Istihsan ialah berpindah dari seharusnya menggunakan suatu qiyas kepada ketentuan qiyas lain yang lebih kuat atau pengkhususan ketentuan qiyas dengan dalil yang lebih kuat.”[6]
Pendapat lain dari imam al – Ghozali mengatakan dalam salah satu kitabnya Al-Mustashfa juz 1 : 137, “Istihsan ialah semua hal uang dianggapnya baik oleh mujtahid menurut akalnya” [7]
Selanjutnya al-Syatiby dalam al-I’tisam menerangkan bahwa istihsan adalah mengabaikan maksud dalil dengan cara pengecualian atau pemberian rukhsah karena berbeda hukumnya dalam beberapa hal. Dalam sumber yang lain ia mengatakan bahwa menurut golongan Malikiyah dan Hanafiyah, istihsan yaitu beramal dengan salah satu dari dua dalil yang terkuat; berpegang kepada dalil umum apabila dalil tersebut dapat berlaku secara kontinyu dan berpegang kepada qiyas jika qiyas itu bisa berlaku umum. Menurutnya, kedua golongan ini berpandangan pada kebolehan mentakhsis dalil umum dengan dalil yang zahir maupun dengan makna. Bedanya, Abu hanifah mentakhsis dalil umum dengan pendapat salah seorang sahabat yang bertentangan dengan qiyas, sedang Malik mentakhsisnya dengan maslahat.[8]
Menyimak pendapat dari para ulama’ diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa istihsanadalah Kecenderungan atau kebiasaan pada sesuatu pada sesuatu hal karena menganggapnya lebih baik atau dapat di artikan penangguhan hukum seorang mujtahid yang pada dasarnya mengabaikan ketentuan qiyas karena adanya suatu dalil yang menghendaki dan lebih kuat  sesuai dengan kemaslahatan manusia atau gampangnya meninggalkan suatu hukum atau dalil pada hukum atau dalil lain karena ada faktor yang menghendaki perpindahan tersebut.
2.    Kehujjahan Istihsan dalam pandangan madzhab
a.    Madzhab Hanafiyah
Madzhab hanafiyah ini banyak sekali istihsan ini di buktikan saat Abu Zahrah berpendapat bahwa Abu Hanifah banyak sekali yang menggunakan istihsan. Dan juga banyak kitab Ushul Fiqh yang menyebutkan banwa hanafiyah mengakui adnya istihsan. Bahkan dalam kitab fiqihnya pun banyak terdapat permasalahan yang bersangkutan dengan istihsan.[9]
b.    Madzhab Malikiyah
Madzhab ini nyatanya satu suara dengan Madzhab Hanafiyah, ini dikatan oleh Asy – Syatibi bahwa sesungguhnya istihsan adalah dalil paling kuat dalam hukum menurut imam maliki dan imam abu Hanafiyah. Dan juga di kuatkan oleh pendapat Abu Zahrah, bahwa imam malik sering berfatwa menggunakan istihsan.[10]
c.    Madzhab Hanabilah
Madzhab ini juga tidak jauh beda dengan dua madhab yang telah dijelaskan sebelumnya. Bahwa golongan ini mengakui adanya istihsan  sebagaimana yang dikatan oleh Imam Al Amudi dan ibnu hazib. Namun, al jalal al mahali dalam kitab syahr Al-jam’ al-jawami’ mengatakan bahwa istihsan itu diakui oleh abu hanifah, namun ulama ulama’ lain mengingkarinya trmasuk golongan  hanabiyah[11]
d.   Madzhab Syafi’iyah
Madzhab ini merupakan salah satu dari 3 madzhab yang telah di jelaskan di atas yang kurang sependapat dengan adanya istihsan. Golongn ini secara mashyur tidak mengakui adanya istihsan, dan mereka betul betul menjahui untuk menggunakannya dalam istinbat hukum dan tidak menggunakannya sebagai dalil. Bahkan imam syafii berkata “barangsiapa yang menggunakan berarti sudah memebuat syariat” dan juga beliau menambahkan “Segala urusan itu telah di atur oleh allah swt, setidaknya ada yang menyerupainya sehingga di bolehkan menggunakan qiyas, namun tidak di bolehkan menggunakan istihsan.”[12]


C.  Istishab
1.    Pengertian
Secara Bahasa kata “Istishab” mempunyai arti kata yaitu “menjadikan teman” atau “mengikut sertakan”.[13]Sedangkan menurut istilah ushul fiqih sendiri mempunyai makna:
جعل الحكم الثابت في الماضي باقيا الي الحال لعدم العلم با المغير
“Hukum yang telah ditetapkan pada masa yang lalu, akan selalu berlaku sampai kapan pun karena tidak ada dalil syara’ yang merubahnya”
Maksud dari kata diatas adalah upaya untuk menjadikan hukum yang sejak awal ada, dan tetap digunakan atau diteruskan bahkan bisa saja digunakan sampai sekarang, sampai ada hukum lain (Dalil) yang mengubah hukum itu. Jadi sewa-menyewa, bursa saham dan level marketing diperbolehkan karena dasar hukumnya “boleh”, sampai ada yang mengharamkannya. Banyak yang bertanya, apa latar belakang orang-orang menjadikan istishab sebagai sumber hukum? Surat Al-Baqoroh 29 menjelaskan latar belakang tersebut:
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُم مَّا فِي الأَرْضِ جَمِيعاً ثُمَّ اسْتَوَى إِلَى السَّمَاء فَسَوَّاهُنَّ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu.[14]
Ayat diatas menjelaskan bahwa Allah memberikan petunjuk kepada manusia agar beristishab dan menjadikannya dalil yang absah, karena asal muasal segala benda dibumi adalah mubah, sehingga satu persatu Allah menurunkan status hukum yang baru.
Contoh:Ruqoiyah menikah dengan aldi setelah beberapa tahun berjalan aldi meninggalkan ruqoiyah tanpa alasan entah dia bekerja atau memang meninggalkan ruqoiyah, di desanya ruqoiyah disukai oleh temannya yang menganggap ruqoiyah tidak bersuami, meskipun realita ruqoiyah tidak berpasangan, maka teman ruqoiyah tidak diperbolehkan menikahi ruqoiyah kecuali telah ada surat penceraian.
Maka dari itu jika ada mujtahid yang sedang ditanya oleh orang lain tentang hukum pengelolaan atau kontrak dan jelas didalam al-quran atau sunah tidak ada, maka hukumnya mubah, sesuai dengan kaidah:
الصل فى الشياءالباحة
“Boleh adalah pangkal “ meskipun belum ada yang menunjukkan dalilnya. Jadi memang istihab sendiri itu adalah dalil syara’ yang paling akhir sebagai rujukan seorang mujtahid untuk menghukumi sebuah peristiwa.
Semua yang dijelaskan diatas adalah teori pengembalian yang sudah dilakukan oleh tradisi manusia mulai zaman dahulu untuk menentukan kehidupan masyarakat mereka.[15]

2.    Macam-macam istishab
Dilihat dari bentuk istihab yang ada, istihab itu sendiri terbagi tiga macam:
a.    Istihab yang tidak mempunyai asal.
Maksudnya adalah akal yang telah menetapkan bahwa hukum tersebut tidak berasal, jadi memang akal manusia tidak menemukan titik temu sehingga tidak dapat menentukan atau menghukuminya, karena syara’ juga tidak menghukuminya, jadi mujtahid hanya bertaklif saja hingga datang dalil yang merubahnya.
Contoh: “akal menetapkan bahwa sholat wajib hanya ada lima”. lain kasus, syara’ telah membuat hukum bahwa wudlu tidak akan batal kecuali telah dianggap ada yang telah menyebabkan batalnya wudlu entah hadats atau najis, apabila seseorang ragu-ragu bagaimana dengan hukumnya, jadi menurut istishab keyakinan akan lebih kuat dari pada keraguan, seperti sabda Rasullullah: “Jika seseorang merasakan sesuatu dalam perutnya, lalu ia ragu apakah ada sesuatu yang keluar atau tidak, maka sekali- kali janganlah ia keluar dari masjid (membatalkan shalat) sampai kamu mendengar suara atau mencium bau kentut”. (HR. Muslim dan Abu Hurairah).
Golongan malikiyah menolak istishab dengan contoh kasus diatas karena memang tidak membatalkan wudlu seseorang akan tetapi akan berimbas ke shalatnya yang masih ragu sehingga sama saja orang tersebut masih harus berwudlu.Sedangkan golongan ulama hanafiyah dan hambali berpendapat bahwa istishab diatas bisa di jadikan hujjah dengan dalil yang kuat dan jelas.
b.    Istihab yang berbentuk ketentuan-ketentuan umum ataupun nash umum, hinnga ada dalil yang menashahkannya atau menghapusnya.
Maksudnya adalah dari dulu istihab telah dipakai menjadi hukum dari segala sesuatu yang mubah. Kebanyakan Istishab seperti ini berperan di muamalah.landasan dasarnya adalah segala bentuk kegiatan yang bermanfaat mubah dilakukan di kehidupan kita kecuali telah turun dalil yang jelas.
Contoh: makan, minum dll.
c.    Istishab yang telah disebutkan syara’. Yang tetap dan kekalnya telah disebutkan sebabnya.Seperti tetapnya sebuah barang dikarenakan adanya kepemilikan yaitu sebuah akad jual beli.[16]

3.    Kehujjahan Istishab
Para ulama ahli usul fiqih berbeda pendapat dengan istishab yang tidak ada dalil syara’ yang bisa menjelaskan tentang sebuah peristiwa antara lain.[17]
a.    Ulama mutakallimin berpendapat bahwa istishab tidak bisa dijadikan hujjah, karena hukum yang ditetapkan pada masa lampau menghendaki adanya dalil. itu pun untuk menetapkan sebuah hukum yang sama pada masa sekarang dan yang akan datang, harus pula berdasarkan dalil. Mereka beralasan, mendasarkan hukum pada istishab merupakan penetapan hukum tanpa dalil, karena sekalipun suatu hukum telah ditetapkan pada masa lampau dengan suatu dalil. Namun, untuk memberlakukan hukum itu untuk masa yang akan datang diperlakukan dalil lain. Istishab, menurut mereka bukan dalil. Karenanya menetapkan hukum yang ada di masa lampau berlangsung terus untuk masa yang akan datang, berarti menetapkan suatu hukum tanpa dalil. Hal ini tidak dibolehkan syara’.
b.    Ulama’ Syafi’iyah, Malikiyyah, Zahiriyyah, Hanabilah dan Syi’ah berpendapat bahwa Istishab bisa dijadikan pegangan secara mutlaq karena sudah ada dari dulu dan tidak berpengaruh jelek terhadap keyakinan maupun tingkah laku seorang muslim kecuali telah datang dalil yang jelas sehingga mengganti apa yg diikuti di peradaban lama dengan peradaban baru yang lebih sesuai.
c.    Menurut mayoritas Ulama’ Hanafiyah, khususnya Muta’akhirin berpendapat bahwa Istishab bisa dijadikan Hujjah untuk menetapkan hukum syara’ yang sudah ditetapkan dahulu, dan menganggap bahwa hukum itu tetap berlaku sampai kapanpun, tetapi tidak bisa menetapkan hukum yang akan ada.[18]
D. Maslahatul Mursalah
1. Pengertian
Maslahatul Mursalah terdiri dari dua kata, yaitu Al-Maslahah dan Al-Mursalah. Al-Maslahah adalah kemaslahatan dalam melakukan perkara, baik ketika prosesnya ataupun asalnya.[19] Sedangkan Al-Maslahah adalah tidak adanya dalil untuk melakukan atau melarangnya.[20] Jadi bisa disimpulkan Maslahatul Mursalah adalah kemaslahatan dalam melakukan perkara, baik ketika prosesnya ataupun asalnya sertatidak adanya dalil untuk melakukan atau melarangnya. Tujuan dari Maslahah Al Mursalah sendiri adalah kemaslahatan umat, yaitu mencegah kemungkaran dan menarik kemanfaatan.
Beberapa Ulama memiliki perbedaan pendapat dalam memahami Maslahatul Mursalah ini, namun dapat disimpulkan bahwa tidak ada dalil khusus yang menunjukan penolakan ataupun penerimaan dalam kemaslahatan perkara.
Maslahatul Mursalah menurut Abu Nur Zuhair adalah kemaslahatan yang tidak bertentangan dengan hukum, akan tetapi belum bisa di terima oleh syara’. Kemudian Menurut Al Ghazali, Maslahatul Mursalah yaitu pemeliharaan dari tujuan syara’ dari Alquran, Sunah, dan ijma’ secara umum, bukan secara khusus, tetapi dalam menentukan syara’ yang khusus tersebut tetap berpegangan pada petunjuk umum dari Alquran dan sunah.[21]
Berbeda lagi menurut Asy-Syatibi (Ulama Bermadzhab Maliki), beliau mengatakan bahwa Maslahatul Mursalah adalah kemaslahatan yang sesuai dengan perkara syara’, walaupun tidak ada secara khusus dalam Alquran dan sunah. Untuk menentukan kemaslahatan dengan syara’ harus dengan dalil-dalil secara keseluruhan sehingga menciptakan hukum yang dinamakan qath’i, meskipun komponen-komponennya tidak menyerupai qath’i.[22]
Dalam beberapa penjelasan tersebut menunjukkan bahwa Maslahatul Mursalah itu tidak sekedar kemaslahatan saja, akan tetapi harus tetap memperhatikan maqosid syariah.  Bahkan jika kemaslahatan saling bertentangan dengan dalil-dalil yang khusus ataupun umum maka tidak disebut Maslahatul Mursalah.
Contohnya adalah ketika zaman Sahabat, yakni dikumpulkannya Alquran menjadi satu Mushaf pada masa pemerintahan Abu Bakar.[23] Contoh lainnya adalah berpindahnya kiblat ke Baitullah (makkah) yang sebelumnya berkiblat ke Baitul Maqdis. Karena di khawatirkan menyerupai kiblat umat Yahudi.[24] Kemaslahatan tersebut memang tidak ada dalil yang mengharuskan melakukan perkara tersebut, namun juga tidak ada larangan melakukannya, akan tetapi hal tersebut merupakan tujuan yaitu kemaslahatan untuk menjaga agama.
2. Objek Maslahatul Mursalah
Dalam Penjelasan di atas Maslahatul Mursalah dapat disimpulkan adalah kemaslahatan umat, kemaslahatan sesama manusia dengan memperhatikan kondisi adat di daerah tersebut, kemaslahatan yang berhubungan dengan perkara antara manusia dengan manusia. Jadi perlu diperhatikan bahwa wilayah kajian Maslahatul Mursalah adalah bukan masalah ibadah, namun Maslahatul Mursalah hanya mengkaji seputar Muamalah saja, alasannya karena pertimbangan hal baik dan buruk itu menurut akal, dan akal sama sekali tidak dapat mempertimbangkan kebaikan dan keburukan dalam hal ibadah. Contohnya kenapa kita harus Shalat ashar empat rokaat ?kenapa tidak dua saja agar lebih mudah ?. yang bisa dipertimbangkan dalam kapasitas akal seperti perlukah dokumen sebagai bukti sudah menikahnya seseorang atau tidak.
Maka dari itu objek kajian Maslahatul Mursalah yaitu tentang hukum yang tidak ada secara khusus di dalam Alquran maupun sunah ataupun dalam dalil tertentu, dan hanya sebatas masalah Muamalah saja, karena jika masalah Ibadah dikaji juga maka dikhawatirkan tidak memberikan masalah namun malah membuat masalah karena kapasitas akal kita belum mampu mencapai masalah ibadah ta’abudi dan tawqifi.
3. Kedudukan Maslahatul Mursalah Menurut Para Ulama
Hukum selain Alquran dan sunah memang selalu menjadi perdebatan antara para Ulama, tidak terkecuali tentang Maslahatul Mursalah. Kita tahu bahwa dalam Maslahatul  Mursalah tidak terdapat dalil pendukung, yang mana ini menjadi perdebatan beberapa ahli Ushul Fikih. Diantaranya adalah:
a. Al Qadhi serta golongannya menolak karena di anggap sesuatu yang tidak ada dasarnya
b. Imam Malik, berbeda dengan sebagian Ulama lainnya, Imam Malik menganggap bahwa Maslahatul Mursalah adalah sah dan boleh di pakai ketika menemui permasalahan.
c. Imam Syafi’i dan golongan Hanafiah, dua Madzab ini menilai Maslahatul Mursalah bisa digunakan jika dasar hukum yang di jumpai tidak sahih, tapi tetap harus menganjurkan memakai dasar hukum yang mendekati kesahihan.
d. Imam Al Ghazali, Menurut beliau jika ada perkara yang mengharuskan memakainya, maka boleh, namun tetap harus ada syarat-syaratnya. Dan jika belum ada dalil yang lebih jelas, maka tidak boleh dipakai.[25]
E. Penutup
            Dalam metote Ijtihad, perbedaan harus di angap wajar, karena memang kebenaran bukan tujuan utama dari berijtihad, siapa yang bisa menjamin akan benar atau salah, kebenaran hanya milik Allah. Fungsi Ijtihad hanya untuk memudahkan dalam penentuan hukum, memudahkan dalam memilih hukum mana yang pantas diambil jika bertemu dengan suatu perkara jika tidak dijelaskan secara khusus dalam Alquran dan hadis.
   Hukum yang masih diperdebatkan disebut hukum ikhtilaf. Dalam artikel ini hanya membahas tiga hukum ikhtilaf. Yaitu: Istihsan, Istihsab, dan Maslahatul Mursalah. istihsanadalah Kecenderungan atau kebiasaan pada sesuatu pada sesuatu hal karena menganggapnya lebih baik atau dapat di artikan penangguhan hukum seorang mujtahid yang pada dasarnya mengabaikan ketentuan qiyas karena adanya suatu dalil yang menghendaki dan lebih kuat  sesuai dengan kemaslahatan manusia atau gampangnya meninggalkan suatu hukum atau dalil pada hukum atau dalil lain karena ada faktor yang menghendaki perpindahan tersebut.Istihsab adalah upaya untuk menjadikan hukum yang sejak awal ada, dan tetap digunakan atau diteruskan bahkan bisa saja digunakan sampai sekarang, sampai ada hukum lain (Dalil) yang mengubah hukum itu. Sedangkan Maslahatul Mursalah adalah kemaslahatan dalam melakukan perkara, baik ketika prosesnya ataupun asalnya sertatidak adanya dalil untuk melakukan atau melarangnya. Tujuan dari Maslahah Al Mursalah sendiri adalah kemaslahatan umat, yaitu mencegah kemungkaran dan menarik kemanfaatan.


Daftar Pustaka
Djalil,A.Basic.2010. ilmu ushul fiqih. Jakarta: Prenada Media Grup.
Jumantoro Totok. 2009. Kamus Ilmu Ushul Fikih. Solo: Amzah.
Kasjim salenda, “Kehujjahan istihsan dan implikasinya dalam istimabat hukum “, al-Daulah,
Vol. 1/ No.2 / 2013.
M. Fahim Tharaba. 2016. Hikmatut Tasyri’ Wa Hikmatus Syar’I. Malang: CV. Dream Litera
Buana.
Marzuki. 2013.Pengantar Studi Hukum Islam (Prinsip dasar Memahami Berbagai Konsep dan
Permasalahan Hukum Islam di Indonesia). Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Nasirudin, Moh. Istihsan Dan Formulasinya : Pro kontra dalam pandangan madzhab syafii dan
hambali.” As-syariah Vol. 47/No.1/2009.
Nurdin,M. Amin, dan Dkk.2011. Sejarah Pemikiran Islam (Teologi-Ilmu Kalam). Jakarta: Bumi
Aksara.                                                    
Satria, Efendi.2008. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana.
Sudarsono. 2001. Pokok Pokok Hukum Islam. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Syafe’I, Rachmad.2010. Ilmu Ushul Fiqh (Untuk UIN, STAIN, PTAIS). Bandung: CV Pustaka
Setia.

Catatan:
1.      Similarity hanya 8%. Oke...
2.      Footnotenya dirapikan.
3.      Jelaskan secara pelan-pelan, supaya teman-temanmu paham.





[1] M. Amin Nurdin, Dkk. Sejarah Pemikiran Islam (Teologi-Ilmu Kalam), (Jakarta: Bumi Aksara), 2011. 2
[2] Rachmad Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqh (Untuk UIN, STAIN, PTAIS),  (Bandung: CV Pustaka Setia), 2010. 26
[3] Sudarsono, Pokok Pokok Hukum Islam, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2001), 550
4 Moh. Nasirudin, “ Istihsan Dan Formulasinya : Pro kontra dalam pandangan madzhab syafii dan hambali.” As-syariah Vol. 47/No.1/2009 Hal. 1
[5] Kasjim salenda, “Kehujjahan istihsan dan implikasinya dalam istimabat hukum “, al-Daulah, Vol. 1/ No.2 / 2013 Hal. 8
[6]  Ibid
[7] Rahmat Syafei, “ Ilmu Fiqih : Untuk UIN, STAI, PTAIS”, Bandung, Putaka Setia, 2010, hal. 110
[8] Kasjim salenda, “Kehujjahan istihsan dan implikasinya dalam istimabat hukum “, al-Daulah, Vol. 1/ No.2 / 2013 Hal. 10

[9] Rahmat Syafei, “ Ilmu Fiqih : Untuk UIN, STAI, PTAIS”, Bandung, Putaka Setia, 2010, hal. 112
[10]Ibid
[11]Ibid
[12]Ibid
[13]A. Basic djalil ilmu ushul fiqih, (Jakarta: Prenada Media Grup, 2010),155.
[14] Al-quran Al-baqoroh ayat 29
[15]Efendi Satria, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2008), 159.
[16]A. Basic djalil,ilmu ushul fiqih, (Jakarta: Prenada Media Grup, 2010), 156.
[17]Jumantoro Totok, Kamus Ilmu Ushul Fikih(Solo: Amzah,2009), 146.
[18]A. Basic djalil,ilmu ushul fiqih,(Jakarta: Prenada Media Grup, 2010), 156.
[19] Rachmad Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqh (Untuk UIN, STAIN, PTAIS), (Bandung: CV Pustaka Setia), 2010. 117
[20] Ibid
[21] Ibid. 119.
[22] Ibid. 120.
[23] Marzuki, Pengantar Studi Hukum Islam (Prinsip dasar Memahami Berbagai Konsep dan Permasalahan Hukum Islam di Indonesia), (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2013, 120.
[24] M. Fahim Tharaba, Hikmatut Tasyri’ Wa Hikmatus Syar’I, (Malang: CV. Dream Litera Buana, 2016) 48.
[25] Rachmad Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqh (Untuk UIN, STAIN, PTAIS),  (Bandung: CV Pustaka Setia), 2010. 123

Tidak ada komentar:

Posting Komentar