Senin, 08 Mei 2017

Takwil-Naskh dan Muradif-Musytarak (PAI C Semester Genap 2016/2017)




TA’WIL, NASKH, MURADIF DAN MUSYTARAK
Nabella Yusi Rizqi, M. Syaifudin Zuhri, Ulfatus Sukriya Romdona
Mahasiswa Pendidikan Agama Islam Kelas C Angkatan 2014
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
e-mail: ulfatus.sukriya@gmail.com

Abstract
Ushul fiqh is a collection of rules or methods that provide direction and rules in the effort to explore and establish Islamic law. There are several rules in the usul fiqh that must be considered in digging and establishing Islamic law. Among the rules that will be dicussed are ta’wil, nasakh, muradif and musytarak. In ushul fiqh, ta'wil is interpreted as turning the meaning of zahir to other meanings. Nasakh interpreted the abolition or cancellation of syara 'law with the law of syara' which came later. Muradif are two words that have one meaning or can be interpreted as a synonym. And the last is musytarak is a word that has two meanings or more. These rules are needed to dig and establish a law that comes from the texts of the Qur'an and from the Hadith
Keyword: Ta’wil, Nasakh, Muradif, and Musytarak
Abstrak
Ushul fiqh merupakan kumpulan kaidah atau metode yang memberikan arahan dan aturan dalam usaha menggali dan menetapkan hukum Islam. Ada beberapa kaidah didalam ushul fiqh yang harus diperhatikan dalam menggali dan menetapkan hukum Islam tersebut. Diantara kaidah tersebut yang akan dibahas adalah ta’wil, naskh, muradif, dan musytarak. Dalam ushul fiqh, ta’wil diartikan sebagai pemalingan makana zahir kepada makna yang lain. Nasakh diartikan penghapusan atau pembatalan hukum syara’ dengan hukum syara’ yang datang kemudian. Muradif adalah dua kata yang mempunyai satu arti atau dapat diartikan sebagai sinonim. Dan yang terakhir adalah musytarak adalahsatu kata yang mempunyai dua arti atau lebih. Kaidah-kaidah tersebut sangat diperlukan untuk menggali dan menetapkan suatu hukum yang bersumber dari nash-nash yaitu dari Al-Qur’an maupun dari Hadits
Kata Kunci: Ta’wil, Nasakh, Muradif, dan Musytarak
A.      Pendahuluan
Untuk dapat memahami Al-Qur’an secara tepat dan efektif maka merupakan sebuah keharusan memahami kaidah kebahasaan terlebih dahulu. Hal ini mengandung arti, seorang pengkaji Al-Qur’an harus memahami arti kata, maksud kalimat hingga apresiasi sastra. Kata adalah seni sehingga dalam memahami kata harus memahami unsur instrinsik kata itu sendiri. Ada kaidah-kaidah dalam menasakh-kan, menta’wilkan, memuradifkan dan memusytarakkan sebuah lafadz.
Sering kali kita dijumpai dalam Al-Qur’an maupun kebahasaan lafadz-lafadz yang memiliki makna yang berbeda dengan lafadz aslinya. Seperti memindahkan suatu perkataan dari makna yang terang (dzahir) kepada makna yang tidak terang (lemah) karena ada suatu dalil yang menyebabkan makna yang kedua tersebut dipakai atau disebut dengan ta’wil atau menta’wilkan. Selain itu juga ada penghapusan dalil yang terdahulu dan digantikan dengan dalil yang baru yang lebih kuat atau disebut dengan nasakh. Selain itu ada juga lafadz yang berbeda-beda namun memiliki arti yang sama atau yang disebut muradif, begitu pula sebaliknya terdapat satu lafadz namun memiliki arti yang banyak atau disebut dengan musytarak.
Muradif atau mutaradif memiliki arti sinonim atau kata-kata yang searti. Muradif ialah sebuah ungkapan yang memiliki satu arti dengan beberapa lafadz. Perselisihan mengenai beberapa kata dengan satu arti (muradif) dalam sebuah ungkapan, menjadi perdebatan di kalangan ulama bahasa, perbedaan ini menimbulkan anggapan yang berbeda-beda pula, sebagian menganggap bahwa dalam Al-Qur’an terdapat bentuk kata yang muradif dan mempunyai arti yang sama, sedangkan yang lain berpendapat bahwa terdapat kata mutaradif tetapi mempunyai sedikit perbedaan sesuai dengan konteks ayat masing-masing.
Selain itu sebab-sebab adanya lafadz musytarak dalam bahasa itu banyak. Yang paling terpenting ialah karena beberapa kabilah-kabilah yang mempergunakan lafadz-lafadz itu untuk menunjukkan suatu pengertian. Beberapa kabilah yang dimaksud dengan tangan, ialah seluruh harta. Yang lain mengatakan ialah lengan dan telapak tangan. Yang lain mengatakan hanya telapak tangan saja.[1]
Sehingga dalam memaknai sebuah lafadz seorang penafsir haruslah memahami lafadz itu sendiri baik bermakna majazi atau hakiki agar tidak terjadi kesalahan dalam penafsiran. Selain itu sebagai bahan pengetahuan maka perlu dikaji secara mendalam mengenai lafadz muradif dan musytarak agar sebagai pembaca tidak saja menerima secara mentah apa yang kita dapat, namun juga mampu membandingkan dan memperdalam pengetahuan yang kita dapatkan.
B.       Ta’wil
1.        Pengertian Ta’wil
Kata Ta’wil berasal dari kata al-awlu yang menurut bahasa berarti ar-ruju’lu ila-ashl(kembali kepada asal) dan dalam bentuk kata ta’wil berarti mengembalikan sesuatu kepada Asal.[2]Ta’wil menurut ulama-ulama Ushul Fiqih,seperti disimpulkan adib shalih,berarti pemalingan suatu lafal dari maknanya yang zhahir kepada makna lain yang tidak cepat dapat ditangkap karena ada dalil yang  diantara definisita’wil adalah:
Abdul Wahhab Khallaf menulis:
صَرْفُ الَّفْظِ عَنْ ظَا هِرِهِ بِدَلِيْلٍ


Artinya: “Memalingkan lafal dari arti zhahirnya berdasarkan adanya dalil”.

Adapun Ibnu Jauzi Menulis :

نَقْلُ الْكَلَامِ عَنْ مَوْ ضُوْ عِهِ اِلَى مَا يَحْتَاجُ فِى اِثْبَاتِهِ اِلَى دَلِيْلِ لَوْلاَهُ مَا تَرَكَ ظَا هِرُ
اللّفْظ
Artinya: “Mengalihkan ucapan dari maudhunya kepada apa yang diperlukan untuk menetapkannya kepada dalil, kalau tidak demikian makna zhahir lafal itu tidak akan ditinggalkan”

Ibnu Atsir menulis :

نَقْلُ ظَا هِرِ اللَّفْظِ عَنْ وَضْعِهِ الْاَصْلِيِّ اِلَى مَا يَحْتَاجُ الَى دَلِيْلٍ

Artinya: “Mengalihkan zhahir lafl dari pemakaian asalnya kepada sesuatu yang diperlukan oleh dalil”

Abu Zahrah mendefinisikan :
اِخْرَاجُ اللَّفْظِ عَنْ ظَا هِرِ مَعْنَاهُ اِلَى مَعْنَى اخَرَ يَحْتَمِلُه
ُ
Artinya: “Mengeluarkan lafal dari lahir maknanya kepada makna lain yang ada kemungkinan untuk itu”
Jadi, ta’wil secara istilah berarti mengambalikan sesuatu pada maksud yang sebenarnya, yakni menerangkan apa yang dimaksudnya. Sedangkan menta’wilkan Al-Qur’an adalah membelokkan atau memalingkan lafaz-lafaz yang ada dalam Al-Qur’an dari makna lahiriyah kemakna yang lainnya.[3]
Beberapa definisi di atas yang berbeda menurut lahirnya dapat dirangkum dalam suatu rumusan tentang definisi ta’wil yaitu:”memalingkan lafaz dari arti kepada arti lain yang mungkin dijangkau oleh dalil.”
Dari Rumusan yang sederhana itu dapat dilihat haqiqah yang merupakan cirri dari ta’wil yaitu:
a.         Lafaz itu tidak lagi dipahami menurut arti lahirnya
b.        Arti yang dipahami dari lafaz itu adalah arti lain yang secara umum
c.         Peralihan dari arti lahir kepada arti  lain itu menyadar kepada petunjuk dalil yang ada
Dalam hubungan dengan lafaz tafsir ada ulama yang berpendapat bahwa kedua lafaz itu sama artinya dari segi tinjauan pengalihan.Tetapi sebenarnya diantara keduanya terdapat perpedaan. Menurut pengertian kalangan ulama, tafsir itu adalah menyingkap makna Al-Quran dan menjelaskan terkandung di dalamnya.
Al-Raghib mencoba membedakan antara ta’wil dan tafsir, bahwa tafsir lebih umum dari ta’wil dan lebih banyak penggunaan dalam lafaz dan dalam arti mufradat lafaz,sedangkan ta’wil lebih banyak penggunaanya dalam makna dan banyak terdapat dalam kitab-kitab ilahiyat.
Pada dasarnya setiap lafaz harus dipahami menurut lahirnya.Tetapi dalam keadaan tertentu,tidak mungkin memahami suatu lafaz menurut lahirnya oleh karena itu diberi kemungkinan untuk mengunakan takwil bila memenuhi syarat-syarat yang di tentukan untuk takwil.
2.        Syarat-Syarat Ta’wil
Adapun syarat-syarat ta’wil adalah
a.         Lafaz itu dapat menerima ta’wil seperti lafaz zhahir dan lafaz hash serta tidak berlaku untuk muhkam dan mufassar
b.        Lafaz itu mengandung kemungkinan untuk di ta’wil karena lafaz tersebut memiliki jangkauan yang luas dan dapat diartikan untuk di ta’wil serta tidakasing dengan pengalihan kepada makna lain tersebut
c.         Ada hal-hal yang mendorong untuk ta’wil seperti:
-          Bentuk lahir lafaz berlawanan dengan kaidah yang berlaku dan diketahui secara dharuri atau berlawanan dengan dalil yang lebih tinggi dari dalil itu
-          Nash itu menyalahi dalil lain yang lebih kuat dilalahnya contohnya:suatu lafaz dalam bentuk zhahir diperuntukan untuk suatu objek tetapi ada makna lain yang menyalahinya dalam bentuk nash
-          Lafaz itu harus mempunyai sandaran kepada dalil dan tidak dapat bertentangan dengan dalil yang ada.
3.        Bentuk-Bentuk Ta’wil
Pada Prinsipnya ulama sepakat mengatakan adanya penggunaan ta’wil.Perbedaan  terletak pada kadar penggunaan dan penerimaanya.
1)      Dari segi diterima atau tidaknya suatu ta’wil ada dua bentuk ta’wil, yaitu:
a.       Ta’wil maqbul atau ta’wil yang diterima, yaitu ta’wil yang telah memenuhi persyaratan di atas. Ta’wil dalam bentuk ini diterima keberadaannyaoleh ulama Ushul.
b.      Ta’wil ghair al-maqbul atau ta’wil yang ditolak, yaitu ta’wil yang hanya didasarkan kepada selera atau dorongan lain dan tidak terpenuhi syarat yang ditentukan.
2)      Dari segi dekat atau jauhnya pengalihan makna lafaz yang di ta’wil dari makna zhahimnya, ta’wil dibagi kepada dua bentuk:
a.       Ta’wil qarib, yaitu ta’wil yang tidak jauh beranjak dari arti zhahir-nya, sehingga dengan petunjuk yang sederhana dapat dipahami maksudnya.
b.      Ta’wil ba’id, yaitu pengalihan dari makna lahir suatu lafaz yang sebegitu jauhnya, sehingga tidak dapat diketahui dengan dalil yang sederhana.
Bila pada lafaz yang di-ta’wil itu terdapat dalil kuat yang akan memberikan petunjuk kepada maknanya, maka ta’wil ini termasuk kepada yang maqbul. Tetapi bila pada lafaz itu tidak terdapatdalil kuat yang menjelaskan dan tidak dapat ketahui dengan dalil sederhana, maka ta’wil ini termasuk yang ghairu maqbul. Mengenai ta’wil kepada makna yang jauh dari makna lahirnya, terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama. Ulama Syafi’iyyah berpendapat bahwa takwil itu harus dengan yang dekat dari arti lahirnya dan tidak boleh dengan yang jauh. Sementara ulama Hanafiyah tidak menggunakan persyaratan tersebut. Mereka hanya mensyaratkan supaya ta’wil itu sesuai dengan dalil syara’ dan tidak menyalahinya.
Karena ada perbedaan pendapat dalam persyaratan di atas, maka terdapat perbedaan pendapat di antara kedua kelompok ulama itu dalam beberapa masalah furu’, diantaranya yaitu:
a)                  Bila seorang laki-laki masuk islam dan mempunyai 10 orang istri yang dinikahinya secara missal dalam suatu akad, ia harus memulai nikah dengan 4 orang di antaranya dan menceraikannya yang lainnya. Tetapi bila yang 10 orang itu dinikahinya satu persatu seacara berurutan, ia dapat mengukuhkan perkawinannya dengan 4 orang terdahulu, degan perkawinan baru dan menceraikan yang lainnya. Ini adalah menurut pendapat ulama Hanafiyah. Menurut ulama Syafi’iyah suami tersebut cukup memilih 4 orang di antaranya untuk melanjutkan pernikahannya tanpa akad nikah yang baru dan menceraikan yang lain, baik ia menihaki perempuan 10 orang itu sekaligus dalam satu akad atau dia nikahi secara berurutan.
Ulama Syafi’iyah beralasan dengan sabda Nabi kepda Ghailan al-Saqafi yang memiliki 10 orang istri pada saat ia masuk islam:
أمْسِكْ اَرْبَعًا وَفَارِقْ سَاءِرَهُنَّ
Artinya: tahan 4 orang dan ceraikan yang lain.
Menurut ulama Hanfiyah, ucapkan Nabi: “Tahan” maksudnya adalah “mulai lagilah” atau “kukuhkanlah yang mula-mula”. Ketentuan inilah yang sesuai dengan syara’.
Pemahaman ulama Hanafiyah itu dianggap oleh ulama Syafi’iyah sebagai ta’wil yang jauh, karena tidak mungkin Nabi berbicara dengan sesorang yang baru masuk Islam tanpa ada penjelasan seperti itu. Oleh karena itu mereka berpendapat bahwa menurut lahirnya kata “amsik” itu, berarti “mengukuhkan” dan bukan “memulai”. Ta’wil seperti ini lebih dekat dan tidak menyalahi jiwa tasyi’ atau filosofi penetapan hukum.
Bila seseorang melakukan kejahatan atau pelanggaran dalam hukum Islam, untuk menghapus kesalahannya itu di depan Allah ia harus membayar kafarah yang diantaranya adalah keharusan memberi makan 60 orang miskin. Hal ini antara lain terdapat pada surat al-Mujadalah (58): 4:
فَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَإِطْعَامُ سِتِّيْنَ مِسْكِيْنًا
Artinya: “maka siapa yang tidak kuasa (wajiblah atasnya) memberi makan enam puluh orang miskin”
Dalam menetapkan 60 orang miskin itu, apakah yang dimaksud adalah 60 orang, masing-masing satu hari, atau satu orang miskin untuk selama 60 hari. Di sini terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama.
Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa yang diberi makan itu adalah 60 orang miskin, masing-masing satu hari, sesuai dengan zhahir ayat diatas yang secara terang menyebut “60 orang miskin”  dan tidak terpenuhi kewajiban ini dengan member makan satu orang miskin selama 60 hari.
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa boleh memberi makan satu orang miskin untuk masa 60 hari sebagaimana bolehnya member makan 60 orang miskin untuk satu hari. Mereka menta’wil-kan ayat tersebut (“member makan untuk 60 orang miskin”): kebutuhan 60 orang miskin untuk satu hari sama dengan kebutuhan satu orang miskin untuk 60 hari.
Ulama Syafi’iyah menganggap pemahaman ulama Hanafiyah itu sebagai ta’wil yang jauh karena cara tersebut berarti “menyelipkan” suatu yang tdiak tersebut dalam ayat, yaitu “makanan”, antara kata “member makan” dengan kata “60 orang miskin”. Juga sekaligus menghilangkan angka 60 untuk jumlah orang miskin.
Dalam masalah zakat kambing yang telah mencapai nisab 40 ekor wajib dikeluarkan zakat kambing berdasarkan hadis Nabi:
فِيْ كُلِّ أَرْبَعِيْنَ شَاةً شَاةً
Artinya “untuk setiap 40 ekor kambing zakatnya adalah 1 ekor kambing”.
Para ulama berbeda pendapat dalam hal: Apakah untuk zakat itu harus berupa seekor kambing, atau boleh pula dalam bentuk materi lain yang seharga seekor kambing.
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa boleh saja mengeluarkan zakat dalam bentuk materi lain yang seharga seekor kambing dan tidak mesti berupa kambing. Mereka men-ta’wil-kan, bahwa yang dimaksud dalam hadis di atas (dengan seekor kambing) adalah “nilai seekor kambing” karena yang dimaksud dengan mengeluarkan zakat adalah menutupi kebutuhan orang miskin dan kebutuhan atas suatu materi sama dengan kebutuhan atas  nilai materi tersebut.
Ulama Syafi’iyah memahami bahwa yang dimaksud oleh hadis adalah kewajiban mengeluarkan kambing itu sendiri; dan tidak boleh diganti dengan materi lain seharga seekor kambing. Mereka menganggap ta’wil yang dilakukan ulama Hanafiyah itu sebagai ta’wil yang jauh karena dari ta’wil itu lazimnya adalah tidak wajib mengeluarkan zakat kambing. Kalau tidak wajib berarti “tidak memadai”; artinya kalau yang dikeluarkan adalah bukan kambing, berarti kewajiban zakat belum terpenuhi.
Dalam ketiga contoh diatas yang menjadi khilafiyah di antara ulam, tampak jelas bahwa perbedaannya terletak pada pesyaratan yang ditetapkan masing-masing ulama dan dari segi pandangan mereka mengenai “jauh” dan “dekat” suatu ta’wil. Sebenarnya ulama Hanafiyah juga tidak menggunakan ta’wil yang jauh. Dalam contoh-contoh di atas, ulama Hanafiyah berpendapat bahwa ta’wil yang merekagunakan bukan ta’wil yang jauh, tetapi ulama Syafi’iyah menganggapnya sebagai ta’wil jauh.[4]
C.      Naskh
1.        Pengertian Nasakh
Kata naskh secara harfiah atau bahasa mempunyai arti menghapus, memindahkan, mengganti, atau mengubah. Sedangkan secara istilah kata naskh menurut para ahli diartikan sebagai berikut:
a.         Menurut Subhi Ash-Shalih, nasakh adalah mengangkat hukum syara’ dengan dalil syara’
b.        Menurut Qaththan, naskh adalah mengangkat hukum syara’ dengan dalil syara’ yang lain.[5]
c.         Menurut Muhammad Hashim Kamali, nasakh adalah penghapusan atau penggantian suatu ketentuan syari’ah oleh ketentuan yang lain.[6]
Dari beberapa definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa nasakh adalah menghapus atau membatalkan hukum syara’ dan digantikan dengan hukum lain yang datang kemudian. Jadi dengan adanya nasakh akan melahirkan suatu dalil sebagai penghapus dari dalil yang sebelumnya. Jika ada dalil yang menghapus (naskh) maka ada dalil yang dihapus. Dalil yang terdahulu yang dihapus itu disebut “mansukh” yang artinya dihapus.
            Didalam Al-Qur’an juga diterangkan mengenai adanya nasakh dalam surat Al-Baqarah ayat 106, yaitu:
مَا نَنْسَخْ مِنْ ءَايَةٍ أَوْنُنْسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مِنْهَا أَوْ مِثْلِهَا أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ
Artinya: “ayat mana saja yang Kami nasakhkan atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”.
Jadi, dalam ayat ini dapat diketahui bahwasanya nasakh memang terjadi didalam hukum Islam sesuai dengan ketentuan Allah dan disesuaikan dengan situasi dan kondisi masyarakat pada masa Al-Qur’an itu diturunkan.[7]
2.    Syarat Nasakh
Para ulama mengemukakan bahwa ada beberapa syarat dalam nasakh sehingga nasakh tersebut dapat diterima, yaitu:
a.    Yang di nasakh adalah hukum syara’, yaitu hukum-hukum yang bersifat amaliyah bukan dalil yang menyangkut dalil akal maupun dalil akidah.
b.    Dalil nasakh datang secara terpisah dengan dalil yang di mansukh, dan dalil yang di nasakhkan (mansukh) harus muncul lebih dahulu dari dalil yang menasakhkan.
c.    Dalil hukum yang dinasakhkan (mansukh) tidak menunjukkan berlakunya hukum untuk selamanya.[8]
Contohnya:
وَلاَ تَقْبَلُوْا لَهُمْ شَهَادَةً اَبَدًا
Artinya: “dan janganlah kamu terima kesaksian mereka untuk selamanya…” (QS. An-Nur:4). Lafal اَبَدًا atau selamanya menunjukkan bahwa larangan ini adalah hukum yang abadi dan tidak akan hilang.
Juga didalam hadits Rosulullah SAW:
الْجِهَادُ مَضٍ اِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ
Artinya: “Jihad terus berlangsung sampai hari kiamat”. Lafal يَوْمِ الْقِيَامَةِ menunjukkan bahwa jihad akan tetap berlangsung sampai dunia masih ada.[9]
d.   Hukum yang terdapat dalam nasakh bertentangan dengan hukum yang terkandung dalam mansukh.
e.    Hukum yang dinasakh kan harus hal-hal yang menyangkut dengan perintah, larangan, dan hukuman dan tidak terjadi pada hal-hal yang menyangkut berita.
f.     Hukum yang terkandung dalam mansukh telah ditetapkan sebelum munculnya nasakh.
g.    Status nash nasakh harus sama dengan nash mansukh.[10]
3.    Pembagian Nasakh
Pembagian nasakh didasarkan atas prinsip umum sebagai berikut:
اِنَّ النَّصَّ لاَيُنْسِخُهُ اِلاَّنَصٌّ فِيْ قُوَّتِهِ اَوْ اَقْوى مِنْهُ
Artinya: “Bahwasanya nash tidaklah dinasakhkan kecuali dengan nash yang sejajar kekuatannya atau lebih kuat dari padanya”.
Berdasarkan prinsip umum tersebut maka nasakh dibagi menjadi empat, yaitu:
1)        Nasakh Al-Qur’an dengan Al-Qur’an
Nasakh ini telah disepakati kebolehannya oleh para ulama. Contohnya, surat Al-Baqarah ayat 240 yang dinasakh dengan surat Al-Baqarah ayat 243 yang berisi  tentang masa iddah perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya yang semula masanya satu tahun menjadi empat bulan sepuluh hari.
2)        Nasakh Al-Qur’an dengan sunnah Mutawatir.
Al-Qur’an juga dapat dinasakhkan dengan sunnah Mutawatir karena semuanya adalah bersifat qath’I dan masih dalam satu tingkatan kekuatan. Contohnya, nasah Al-Qur’an yang menunjukkan pengharaman bangkai dikhususkan dengan sunnah amaliyah yang mutawatir yang menunjukkan pembolehan bangkai lautan dan dikukuhkan oleh Rasulullah melaluisabdanya:
هُوَ الطَّهُوْرُ مَاؤُهُ الحِلُّ مَيْتَتُهُ
Artinya: “Lautan itu suci airnya dan halal bangkainya”
3)        Nasakh sunnah dengan sunnah.
Nash sunnah yang tidak mutawatir terkadang satu sama lain dapat saling mensakhkan karena nash-nash itu masih dalam satu tingkatan kekuatan dan terkadang juga dinasakhkan dengan nash Al-Qur’an dan sunnah mutawatir.
Berdaarkan ketentuan tersebut maka dapat diambil kesimpulan bahwa nash Al-Qur’an atau sunnah mutawatir tidak dapat dinasakh dengan sunnah yang tidak mutawatir. Hal ini dikarenakan nash yang tingkatannya lebih kuat tidak dapat dinasakhkan dengan nash atau dalil yang tingkatannya lebih rendah. Selain itu diperoleh pula ketetapan bahwa tidak ada lagi nasakh terhadap hukum syar’I dalam Al-Qur’an atau sunnah sesudah Rasulullah wafat, karena sesudah Rasulullah wafat nash telah terhenti dan hukum telah tetap sehingga tidak mungkin menasakhkan nasah dengan qiyas ataupun dengan ijtihad.[11]
4.    Macam-Macam Naskh
Nasakh terkadang muncul secara eksplisit (sarih) ataupun secara implisit (dimni), adapun penjelasannya adalah sebagai berikut:
-       Nasakh bersifat eksplisit yaitu nash yang menghapus secara jelas membatalkan suatu ketentuan dan menggantikannya dengan ketentuan yang lain. Contohnya, didalam hadis yang diriwayatkan bahwasanya Rasulullah pernah bersabda “aku melarang kamu untuk menyimpan daging kurban, karena begitu banyak kerumunan orang yang merayakan Idul Adha. Kamu sekarang boleh menyimpannya seberapa kamu mau”.
لَا يَأْكُلْ أَحَدٌ مِنْ لَحْمِ أُضْحِيَّتِهِ فَوْقَ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ
Artinya: “Janganlah seseorang memakan daging kurbannya melebihi tiga hari”.
نَهَيْتُكُمْ عَنْ لُحُومِ الْأَضَاحِيِّ فَوْقَ ثَلَاثٍ ، فَأَمْسِكُوا مَا بَدَا لَكُمْ
Artinya: “Aku telah melarang kalian dari (memakan) daging-daging kurban setelah tiga hari, maka (sekarang) simpanlah apa yang ada untuk kalian”
Dari hadits ini diketahui bahwa pada perintah pertama Nabi melarang untuk menyimpan daging qurban, hal ini karena pada waktu itu banyak orang yang menghadiri perayaan idul adha di Madinah sehingga Nabi ingin agar mereka semua diberi makan. Namun kemudian nabi memperbolehkan untuk menyimpan daging hewan qurban karena keadaannya telah mengalami perubahan.
-       Naskh bersifat implisit, yaitu nash yang membatalkan tidak menjelaskan semua fakta yang berkaitan. Contonya, ketentuan dalam surat Al-Baqarah ayat 180 yang memperbolehkan wasiat kepada orang tua dan keluarga.
كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ ۖ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ
Arti: “Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapakdan karib kerabatnya secara ma’ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa”.
Namun ketentuan ini dihapus oleh ketentuan nash yang lain yaitu dalam surat An-Nisa ayat 11 yang memberikan hak kepada ahli waris untuk mendapatkan bagian-bagian tertentu dalam kewarisan.
يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ فَإِنْ كُنَّ نِسَاءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ 
Artinya: “Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan….”.[12]
Nasakh yang bersifat implisit terbagi lagi menjadi dua, yaitu nasakh kulli (nasakah secara menyeluruh) dan nasakh juz’i (nasakah sebagian).
-       Nasakh kulli adalah pembatalan hukum oleh Syari’ terhadap hukum-hukum yang disyari’atkan secara keseluruhan. Maksudnya keseluruhan suatu nash dihapus oleh nash yang lain dan ditetapkan suatu ketentuan baru untuk menggantikannya. Contohnya: membatalkan iddah wanita yang ditinggal mati oleh suaminya yang sebelumnya ditetapkan salam satu tahun kemudian diganti dengan iddahnya selama 4 bulan 10 hari. Allah SWT berfirman:
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا وَصِيَّةً لأَزْوَاجِهِم مَّتَاعًا إِلَى الْحَوْلِ غَيْرَ إِخْرَاجٍ
Artinya: “Dan orang-orang yang akan mati diantara kamu dan meninggalkan istri-istri, hendaklah membuat wasiat untuk istri-istrinya (yaitu) nafkah sampai setahun tanpa mengeluarkannya (dari rumah)…” (QS. Al-Baqarah:240)
Kemudian Allah SWT berfirman:
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا
Artinya: “Dan orang-orang yang mati di antara kamu serta meninggalkan istri-istri hendaklah mereka (istri-istri) menunggu empat bulan sepuluh hari….” (QS. Al-Baqarah: 243)
-       Nasakh Juz’i adalah pembatalan hukum oleh Syari’ dalam kaitannya dengan sebagian individu dan membatalkan hukum untuk sebagian kondisi. Maksudnya nash yang menasakhkan itu tidak membatalkan pemberlakuan hukum yang pertama tetapi membatalkannya dalam kaitannya dengan sebaian individu atau sebagian kondisi. Atau dapat juga diartikan suatu nash yang hanya sebagian dihapus oleh nash yang lain sedangkan bagian yang tidak terhapus hukumnya masih tetap berlaku. Contohnya ayat Al-Qur’an tentang tuduhan fitnah yang sebagian dihapus oleh ayat li’an. Allah berfirman:
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً
Artinya: “Dan orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan yang baik (berzina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka delapan puluh kali…” (QS. An-Nur: 4)
Allah juga berfirman:
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ أَزْوَاجَهُمْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُمْ شُهَدَاءُ إِلا أَنْفُسُهُمْ فَشَهَادَةُ أَحَدِهِمْ أَرْبَعُ شَهَادَاتٍ بِاللَّهِ إِنَّهُ لَمِنَ الصَّادِقِينَ
Artinya: “Dan orang-orang yang menuduh istrinya (berzina), padahal mereka tidak mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka kesaksian masing-masing orang itu ialah empat kali bersumpah dengan (nama) Allah bahwa sesungguhnya dia termasuk orang yang berkata benar” (QS. An-Nur: 6)
            Dari kedua ayat tersebut diketahui bahwasanya di ayat pertama menunjukkan bahwa orang yang menuduh wanita baik-baik berzina yang tidak dapat menunjukkan buktinya maka di dera 80 kali, baik penuduhnya adalah suaminya sendiri atau orang lain. Sedangkan ayat kedua menunjukkan bahwa apabila penuduh zina adalah suaminya sendiri maka tidak di dera melainkan si suami dan istrinya saling bersumpah li’an.[13]
5.    Hikmah Nasakh
Nasakh terjadi terhadap hukum syar’i yang dapat mewujudkan kemaslahatan bagi kehidupan manusia. Kemaslahatan manusia terus mengalami perubahan sesuai dengan situasi dan kondisi mereka. Al-Maraghi menjelaskan hikmah dari adanya nasakh dengan menyatakan  “hukum-hukum tidak diundangkan kecuali untuk kemaslahatan manusia dan hal ini berubah atau berbeda akibat perbedaan waktu dan tempat, sehingga dengan demikian suatu nash atau hukum yang dinasakh akan menjadi lebih baik dari hukum semula atau sama dari segi manfaatnya untuk hamba-hamba Allah”[14]
D.      Muradif
1.        Pengertian Muradif
Muradif menurut bahasa artinya adalah: membonceng/ ikut serta. Muradif yang dimaksudkan oleh ahli ushul fiqih adalah “beberapa lafadz terpakai untuk satu makna”. Contoh:
a.              الآَسَدُdan اَللَّيْثُ artinya adalah “singa”
b.              المَنْزِلُ dan  الدَّارُartinya adalah “rumah”
Dari keterangan diatas jelaslah bagi kita bahwa dua, tiga atau beberapa lafadz yang mempunyai satu makna dinamakan lafadz muradif.[15] Dapat ditarik kesimpulan bahwa ketika kita menenmui lafadz yang berbeda-beda namun memiliki arti yang sama maka dapat disebut dengan lafadz muradif.
Muradif sendiri dari berbagai kalangan ada yang setuju untuk memakainya dan ada yang tidak, dikarenakan setiap manusia memiliki pemahaman yang berbeda-beda. Selain itu salah satu kemukjizatan Al-Qur’an dan ketinggian bahasanya adalah melalui kata muradif. Pemahaman yang mendalam terhadap konteks ayat sangat mendukung untuk memakhami kata muradif dan untuk membedakan arti bagi kata-kata yang dianggap muradif.
2.        Hukum Muradif
Hukum muradif yang dimaksudkan disini adalah tentang timbulnya persoalan yang dikarenakan adanya lafadz-lafadz muradif, dalam hal demikian, para ulama mempersoalkan hukumnya, seperti misalnya apakah boleh satu lafadz diganti dengan lafadz lain yang maknanya sama.
Para ulama umumnya berpendirian bahwa bacaan Al-Qur’an yang bersifat Ta’abudi, tidak boleh diganti dengan lafadz muradifnya karena Al-Qur’an dan seluruh lafadznya adalah mengandung mukjizat, sedang muradif satu lafadz dalam Al-Qur’an bukanlah teks Al-Qur’an yang dengan sendirinya tidak mengandung mu’jizat.
Sehubungan dengan masalah muradif ada juga para ulama yang berselisih pendapat dalam hal-hal tertentu, seperti dalam masalah dzikir. Dalam masalah dzikir itupun bagi golongan yang membenarkan muradif, memberikan dua syarat yang harus dipenuhi, yakni:
1.        Boleh dipakai lafadz muradif, bila penggantian lafadz muradif tersebut tidak terdapat halangan dari agama, baik secara jelas atau samar-samar.
2.        Boleh dipakai lafadz muradif, bila penggantian lafadz boleh dipakai lafadz muradifnya itu berasal dari satu bahasa, yakni sama-sama bahasa Arab misalnya.[16]
Seluruh ulama sepakat bahwa lafal yang satu dapat menenmpati tempat lafal yang lain selama tidak berubah arti dan makna serta syara’ tidak melarangnya. Mengenai lafal dalam Al-Qur’an tidak ada perbedaan pendapat. Yang menjadi perbedaan pendapat adalah lafal diluar Al-Qur’an, seperti dzikir dalam sholat dan lafal-lafal yang lain. Menurut pendapat Imam Maliki dan Imam Syafi’i tidak boleh membaca takbir selain lafal “Allahu Akbar”. Menurut Imam Abu Hanifah boleh mengganti lafal takbir dengan lafal yang lain seperti “Allahu A’dhim”, “Allahu A’la”.[17]
Dalam hukum pemakaian lafal muradif juga memiliki pendapat yang berbeda-beda anatar ulama’, hal ini dimaksudkan agar setiap manusia mampu memilih dan memilah mana yang baik untuk digunakan dan mana yang baik untuk ditinggalkan. Pemakaian lafadz muradif boleh digunakan asalkan tidak menyalahi aturan atau hukum yang telah ditentukan, namun lebih baik untuk mengikuti lafadz-lafadz yang sudah ada sehingga tidak membingungkan akan mengartikan sebuah lafadz. Atau dapat menggunakan lafadz muradif namun hanya sebagai bahan pengetahuan saja.
E.       Musytarak
1.        Pengertian Musytarak
Musytarak artinya menurut bahasa adalah berserikat, berkumpul. Musytarak yang dimaksud dalam ushul fiqih adalah: “Lafadz yang dibentuk untuk dua arti atau lebih yang berbeda-beda.”[18] Lafadz musytarak ialah lafadz yang dicetak untuk dua makna atau lebih dengan cetakan yang bermacam-macam, dimana lafadz itu dapat menunjukkan makna yang ditetapkan secara bergantian, artinya lafadz itu menunjukkan makna ini atau makna itu. Sebagaimana lafadz ‘ain ditetapkan menurut bahasa untuk pandangan, sumber mata air, dan untuk mata-mata.[19]
Jadi lafadz musytarak yaitu sebuah lafadz yang memiliki arti yang berbeda-beda atau satu lafadz dengan bermacam-macam arti. Seperti lafadz “aid” yang memiliki arti tangan, namun dalam pemaknaanya ada yang mengartikan tangan mulai dari ujung jarii sampai pergelangan tangan, mulai dari ujung jari sampai siku dan mulai dari ujung jari sampai bahu. Maka penggunaan lafadz musytarak ini tergantung pada orang yang menafsikan lafadz itu sendiri. Yang terpenting adalah sesuuai dengan kaidah yang telah ditentukan dan tidak menyalahi aturan.
2.        Sebab-sebab Timbulnya Lafal Musytarak
a.                   satu kata dipergunakan oleh dua suku bangsa untuk makna yang berbeda. Kemudian sampai kepada kita satu kata tersebut sudah mempunyai dua arti yang berbeda tersebut. Seperti kata “nahil” sampai kepada kita sudah membawa dua makna, yaitu dahaga dan segar.
b.                  arti majaz lebih terkenal daripada arti hakiki. Seperti lafal “sayyarah” arti hakikinya adalah sesuatu yang merayap, sedang arti majazinya adalah mobil.
c.                   lafal yang diciptakan untuk tujuan satu makna kemudian diambil oleh syara’ dan diartikan menurut syara’ seperti shalat diciptakan untuk makna do’a, kemudian dialihkan kepada pengertian syara’ menjadi: suatu perbuatan yang dimulai dengan takbir dan disudahi dengan salam.[20]
Penyebab timbulnya lafadz musytarak ada berbagai macam seperti yang disebutkan diatas, tanpa kita mengetahui asalnya namun dapat kita lihat hasilnya, sebagian juga lebih mengnal arti majaznya daripada hakikinya dan yang terakhir lafadz musytarak yang lafadznya hanya satu namun memiliki arti yang berbeda-beda ini menandakan bahwa dalam memaknakan sebuah lafadz penafsir dapat lebih mengembangkan arti dari lafadz tersebuh dengan tujuan untuk memahamkan atau untuk memperjelas arti dari lafadz.
3.        Macam-Macam Lafadz Musytarak
a.         Berupa isim. Contoh:
وَالْمُطَلَّقَأتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاَثَةَقُرُوْءٍ
Artinya: “wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tigakali quru'.”(QS. Al-Baqarah: 228)
Dalam ayat tersebut terdapat lafadz “quru” yang dapat diartikan haid atau suci.
Berupa fi’il, seperti fi’il amar. Contoh:
فَانْكِحُواْ مَاطَابَلَكُمْ مِنَالنَّسَاءِ
Artinya: “Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi...” (QS. An-Nisa’:3)
Dalam ayat tersebut terdapat fi’il amr “ankihu” (kawinilah) menunjukkan arti wajib dan sunnah. Menurut ulama Islam (jumhur) lafal amr tersebut tidak berarti wajib melainkan sunnah, tetapi ulama al-Dzahiri, mengandung arti wajib
b.        Berupa huruf, seperti wawu. Contoh :
وَلاَ تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِاسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُلَفِسْقٌ
Artinya: “dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan.”(QS. Al-An’am: 121)
Huruf wawu dalam ayat tersebut dapat diartikan sebagai huruf “hal” (keadaan), dapat pula diartikan sebagai huruf “athaf” (penghubung). Apabila diartikan sebagai huruf athaf (penghubung), maka yang dimaksud oleh ayat tersebut adalah semua binatang yang disembelih tidak dengan atas nama Allah atau atas nama selain Allah. Apabila diartikan sebagai huruf hal (keadaan), maka arti dan maksud ayat tersebut adalah dilarang memakan binatang yang tidak atas nama Allah atau atas nama selain Allah pada saat menyembelihnya, karena keadaan perbuatan seperti itulah yang termasuk perbuatan fasik.[21]
Ada tiga macam bentuk lafadz musytarak yang mana dalam penggunaanya memiliki arti yang berbeda-beda. Ada yang berupa isim atau kata benda, ada yang berupa fi’il atau kata kerja dan ada yang berupa huruf dimana masih bersangkutan dengan kata sebelumnya atau selanjutnya pada kalimat itu sendiri.
4.        Hukum Musytarak
Yang dimaksudkan hukum musytarak adalah tentang boleh tidaknya menggunakan lafadz musytarak. Tentang hal ini ulama berselisih pendapat, ada yang memperbolehkan dan ada yang tidak.[22]Dalam menentukan hukum musytarak dapat dilihat dari segi makna musytarak, qarinah musytarak dan musytarak tidak berqarinah.
a.         Makna Musytarak
Apabila musytarak mempunyai makna lughawi dan makna syar’i, maka yang dipakai adalah makna syar’i, seperti makna shalat, menurut arti lughawi adalah do’a dan menurut arti syar’i adalah suatu perbuatan ysng dimulsi dengan takbir dan disudahi dengan salam. Lafal “thalaq” menurut arti lughawi adalah lepas dan menurut syar’i adalah melepas ikatan perkawinan.
b.        Qarinah Musytarak
Apabila terjadi dalam satu nash syar’i berkumpul beberapa makna lughawi, maka harus diambil satu makna saja dari beberapa makna tersebut, sebab syar’i tidak menghendaki semua arti tersebut. Untuk menentukan satu makna dari beberapa makna tersebut, perlu dicari qarinah yang menunjukkan sesuai dengan makna yang dimaksud, sesuai dengan yang dikehendaki nash. Contoh:
وَالسَّارِقُ وَالسَارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا
Artinya: “laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya”(QS. Al-Maidah:38)
Dalam ayat tersebut terdapat lafadz “aidiyakum” (tangan keduanya) mengandung beberapa arti lughawi, yaitu mulai darin ujung jari sampai pergelangan tangan, mulai dari ujung jari sampai siku dan dari ujung jari sampai bahu, tangan kanan, tangan kiri dan sebagainya. Untuk memilih satu makna dari beberapa makna tersebut, terdapat petunjuk Rasulullah SAW. bahwa yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah tangan kanan, mulai dari ujung jari sampai pergelangan tangan (telapak tangan). Petunjuk beliau inilah sebagai qarinah.
c.         Musytarak yang tidak memiliki qarinah.
Musytarak yang tidak memiliki qarinah diperselisihkan ulama dalam menentukan arti.
-            Menurut madzhab Hanafi lafadz musytarak tidak dipakai untuk keseluruhan arti banyak dalam satu pemakaian. Seandainya yang dimaksud untuk keseluruhan arti yang banyak, lafadz itu bukan musytarak lagi dan juga bukan arti majazi, tetapi disebut lafadz amm.
-            Menurut madhzab Syafi’i dan Mu’tazilah, apabila tidak ada qarinah yang menunjukkan kepada arti yang dikehendaki, maka lafadz musytarak dapat diambil seluruh artinya, selama arti-arti tersebut dapat digabungkan. Contoh:

إِنَّ اللَّهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّ يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ امَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيْمًا


Artinya:”Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.”(QS. Al-Ahzab:56)
Dalam ayat tersebut terdapat lafadz “yushalluna” (bershalawat) termasuk lafal musytarak yang dapat diartikan memberi rahmat dan memberi do’a. Untuk menentukan salah satu dari keduanya tidak didapatkan suatu qarinah, maka kedua arti tersebut dapat digabungkan (mengambil keduanya) sekaligus. Arti memberi rahmat adalah arti yang paling pantas bagi Allah SWT, memberi do’a adalah arti yang pantas bagi para malaikat dan memohon syafaat bagi para umat Nabi Muhammad.[23]
Hukum penggunaan lafadz musytarak memiliki dua pendapat, ada yang membolehkan dengan alasan dalam nash tidak semua lafadz dapat diartikan dengan sebenarnya ada yang harus diumpamakan. Namun sebagian ulama juga ada yang tidak membolehkan lafadz musytarak dikarenakan menyalahi aturan. Ada juga lafadz musytarak yang memerlukan qarinah dan yang tidak menggunakan qarinah.
F.       Kesimpulan        
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa untuk menetapkan dan menggali hukum Islam diperlukan adanya pemahaman dalam kaidah-kaidah dalam ushul fiqh yang akan membantu dalam penggalian dan penetapan suatu hukum Islam. kaidah-kaidah yang dibahas dalam materi ini adala ta’wil, nasakh, muradif dan musytarak. Yang mana ke-empat kaidah tersebut berhubungan juga dengan kaidah kebahasaan didalam nash-nash yaitu Al-Qur’an maupun hadits.
Sering kali kita dijumpai dalam Al-Qur’an maupun kebahasaan lafadz-lafadz yang memiliki makna yang berbeda dengan lafadz aslinya. Seperti memindahkan suatu perkataan dari makna yang terang (dzahir) kepada makna yang tidak terang (lemah) karena ada suatu dalil yang menyebabkan makna yang kedua tersebut dipakai atau disebut dengan ta’wil. Kemudian juga ada penghapusan dalil yang terdahulu dan digantikan dengan dalil yang baru yang lebih kuat atau disebut dengan nasakh. Selain itu ada juga lafadz yang berbeda-beda namun memiliki arti yang sama atau yang disebut muradif, begitu pula sebaliknya terdapat satu lafadz namun memiliki arti yang banyak atau disebut dengan musytarak.



DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Abu. Ulumul Qur’an sebuah pengantar. Pekanbaru:Amzah
Djalil, Basiq. 2010. Ilmu Ushul Fiqih. Jakarta : Prenada Media Group
Kamali, Hashim. 1996. Prinsip dan Teori-Teori Hukum Islam (Usul al-Fiqh). Yogyakarta:Pustaka Pelajar
Khallaf, Syekh Abdul Wahab.1995. Ilmu ‘Ushul Fikh. Jakarta: PT Rineka Cipta
Khallaf, Abdul Wahhab. 2014. Ilmu Ushul Fiqh. Semarang: Dina Utama
Shihab, Quraish. 2004. Membumikan Al-Qur’an. Bandung:Mizan
Syarifudin, Amir.2011. Ushul Fiqh Jilid 2. Jakarta: Kencana
Syarifuddin, Amir. 2012. Garis-Garis Besar Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana
Tharaba, Fahim. 2016. Hikmatut Tasyri’ wa Hikmatus Syar’i (Filsafat Hukum Islam). Malang: CV. Dream Litera Buana
Yusuf, Kadar M. 2012. Studi Al-Qur’an. Jakarta: Amzah

Catatan:
Perujukan makalah ini agak minimalis, tetapi selainnya sudah cukup baik.


[1] Syekh Abdul Wahab Khallaf, Ilmu ‘Ushul Fikh, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1995), hal. 221-222
[2]Satria effendi,Ushul Fiqh,(Jakarta:Prenada Media,2005), hal 230
[3]Abu Anwar, Ulumul Qur’an sebuah pengantar, (Pekanbaru:Amzah, 2005), hal. 99
[4]Amir Syarifudin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta: Kencana, 2011), hal. 46
[5]Kadar M. Yusuf, Studi Al-Qur’an, (Jakarta: Amzah, 2012), hal. 108-109
[6] Hashim Kamali,Prinsip dan Teori-Teori Hukum Islam (Usul al-Fiqh), (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 1996), hal. 193
[7]Kadar M. Yusuf, Op.Cit, hal. 109
[8]Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2012), hal. 86
[9] Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Semarang: Dina Utama, 2014), hal. 422
[10] Kadar M. Yusuf,Op.Cit, hal. 111
[11]Abdul Wahhab Khallaf,Op.Cit, hal. 423-424
[12]Muhammad Hashim Kamali, Prinsip dan Teori-Teori Hukum Islam (Ushul al-Fiqh), (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hal. 199-200
[13]Abdul Wahhab Khallaf,Op.Cit, hal. 417-418
[14]Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, (Bandung:Mizan, 2004), hal. 145
[15] Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih, (Jakarta : Prenada Media Group, 2010), hal. 115
[16] Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih, (Jakarta : Prenada Media Group, 2010), hal. 116
[17]Fahim Tharaba, Hikmatut Tasyri’ wa Hikmatus Syar’i (Filsafat Hukum Islam), (Malang: CV. Dream Litera Buana, 2016), hal. 227
[18] Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih, (Jakarta : Prenada Media Group, 2010), hal. 117
[19] Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih, (Semarang: Dina Utama Semarang, 201)4, hal. 324
[20]Fahim Tharaba, Hikmatut Tasyri’ wa Hikmatus Syar’i (Filsafat Hukum Islam), (Malang: CV. Dream Litera Buana, 2016), hal. 228
[21]Ibid., hal.229
[22]Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih, (Jakarta : Prenada Media Group, 201)0, hal. 117-118
[23]Fahim Tharaba, Hikmatut Tasyri’ wa Hikmatus Syar’i (Filsafat Hukum Islam), (Malang: CV. Dream Litera Buana, 2016), hal. 229-231

Tidak ada komentar:

Posting Komentar