TA’WIL, NASKH, MURADIF DAN MUSYTARAK
Nabella Yusi Rizqi, M. Syaifudin Zuhri, Ulfatus Sukriya Romdona
Mahasiswa
Pendidikan Agama Islam Kelas C Angkatan 2014
Universitas
Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
e-mail: ulfatus.sukriya@gmail.com
Abstract
Ushul fiqh is a collection of rules or methods that provide
direction and rules in the effort to explore and establish Islamic law. There
are several rules in the usul fiqh that must be considered in digging and
establishing Islamic law. Among the rules that will be dicussed are ta’wil,
nasakh, muradif and musytarak. In ushul fiqh, ta'wil is
interpreted as turning the meaning of zahir to other meanings. Nasakh
interpreted the abolition or cancellation of syara 'law with the law of syara'
which came later. Muradif are two words that have one meaning or can be
interpreted as a synonym. And the last is musytarak is a word that has
two meanings or more. These rules are needed to dig and establish a law that
comes from the texts of the Qur'an and from the Hadith
Keyword: Ta’wil,
Nasakh, Muradif, and Musytarak
Abstrak
Ushul fiqh merupakan kumpulan kaidah atau metode yang memberikan
arahan dan aturan dalam usaha menggali dan menetapkan hukum Islam. Ada beberapa
kaidah didalam ushul fiqh yang harus diperhatikan dalam menggali dan menetapkan
hukum Islam tersebut. Diantara kaidah tersebut yang akan dibahas adalah
ta’wil, naskh, muradif, dan musytarak. Dalam ushul fiqh, ta’wil
diartikan sebagai pemalingan makana zahir kepada makna yang lain. Nasakh
diartikan penghapusan atau pembatalan hukum syara’ dengan hukum syara’ yang datang
kemudian. Muradif adalah dua kata yang mempunyai satu arti atau dapat
diartikan sebagai sinonim. Dan yang terakhir adalah musytarak adalahsatu
kata yang mempunyai dua arti atau lebih. Kaidah-kaidah tersebut sangat
diperlukan untuk menggali dan menetapkan suatu hukum yang bersumber dari
nash-nash yaitu dari Al-Qur’an maupun dari Hadits
Kata Kunci: Ta’wil,
Nasakh, Muradif, dan Musytarak
A.
Pendahuluan
Untuk
dapat memahami Al-Qur’an secara tepat dan efektif maka merupakan sebuah
keharusan memahami kaidah kebahasaan terlebih dahulu. Hal ini mengandung arti,
seorang pengkaji Al-Qur’an harus memahami arti kata, maksud kalimat hingga
apresiasi sastra. Kata adalah seni sehingga dalam memahami kata harus memahami
unsur instrinsik kata itu sendiri. Ada kaidah-kaidah dalam menasakh-kan,
menta’wilkan, memuradifkan dan memusytarakkan sebuah
lafadz.
Sering
kali kita dijumpai dalam Al-Qur’an maupun kebahasaan lafadz-lafadz yang
memiliki makna yang berbeda dengan lafadz aslinya. Seperti memindahkan suatu
perkataan dari makna yang terang (dzahir) kepada makna yang tidak terang
(lemah) karena ada suatu dalil yang menyebabkan makna yang kedua tersebut
dipakai atau disebut dengan ta’wil atau menta’wilkan. Selain itu
juga ada penghapusan dalil yang terdahulu dan digantikan dengan dalil yang baru
yang lebih kuat atau disebut dengan nasakh. Selain itu ada juga lafadz
yang berbeda-beda namun memiliki arti yang sama atau yang disebut muradif,
begitu pula sebaliknya terdapat satu lafadz namun memiliki arti yang banyak
atau disebut dengan musytarak.
Muradif atau mutaradif memiliki arti sinonim atau kata-kata yang
searti. Muradif ialah sebuah ungkapan yang memiliki satu arti dengan beberapa
lafadz. Perselisihan mengenai beberapa kata dengan satu arti (muradif)
dalam sebuah ungkapan, menjadi perdebatan di kalangan ulama bahasa, perbedaan
ini menimbulkan anggapan yang berbeda-beda pula, sebagian menganggap bahwa
dalam Al-Qur’an terdapat bentuk kata yang muradif dan mempunyai arti
yang sama, sedangkan yang lain berpendapat bahwa terdapat kata mutaradif
tetapi mempunyai sedikit perbedaan sesuai dengan konteks ayat masing-masing.
Selain
itu sebab-sebab adanya lafadz musytarak dalam bahasa itu banyak. Yang
paling terpenting ialah karena beberapa kabilah-kabilah yang mempergunakan
lafadz-lafadz itu untuk menunjukkan suatu pengertian. Beberapa kabilah yang
dimaksud dengan tangan, ialah seluruh harta. Yang lain mengatakan ialah lengan
dan telapak tangan. Yang lain mengatakan hanya telapak tangan saja.[1]
Sehingga
dalam memaknai sebuah lafadz seorang penafsir haruslah memahami lafadz itu sendiri
baik bermakna majazi atau hakiki agar tidak terjadi kesalahan dalam penafsiran.
Selain itu sebagai bahan pengetahuan maka perlu dikaji secara mendalam mengenai
lafadz muradif dan musytarak agar sebagai pembaca tidak saja
menerima secara mentah apa yang kita dapat, namun juga mampu membandingkan dan
memperdalam pengetahuan yang kita dapatkan.
B.
Ta’wil
1.
Pengertian
Ta’wil
Kata Ta’wil
berasal dari kata al-awlu yang menurut bahasa berarti ar-ruju’lu
ila-ashl(kembali kepada asal) dan dalam bentuk kata ta’wil berarti
mengembalikan sesuatu kepada Asal.[2]Ta’wil
menurut ulama-ulama Ushul Fiqih,seperti disimpulkan adib shalih,berarti
pemalingan suatu lafal dari maknanya yang zhahir kepada makna lain yang tidak
cepat dapat ditangkap karena ada dalil yang diantara definisita’wil adalah:
Abdul Wahhab
Khallaf menulis:
صَرْفُ الَّفْظِ عَنْ ظَا هِرِهِ بِدَلِيْلٍ
Artinya: “Memalingkan
lafal dari arti zhahirnya berdasarkan adanya dalil”.
Adapun Ibnu Jauzi Menulis :
نَقْلُ الْكَلَامِ عَنْ مَوْ ضُوْ عِهِ اِلَى مَا
يَحْتَاجُ فِى اِثْبَاتِهِ اِلَى دَلِيْلِ لَوْلاَهُ مَا تَرَكَ ظَا هِرُ
اللّفْظ
Artinya: “Mengalihkan ucapan dari maudhunya
kepada apa yang diperlukan untuk menetapkannya kepada dalil, kalau tidak
demikian makna zhahir lafal itu tidak akan ditinggalkan”
Ibnu Atsir menulis :
نَقْلُ ظَا هِرِ اللَّفْظِ عَنْ وَضْعِهِ
الْاَصْلِيِّ اِلَى مَا يَحْتَاجُ الَى دَلِيْلٍ
Artinya: “Mengalihkan zhahir lafl dari
pemakaian asalnya kepada sesuatu yang diperlukan oleh dalil”
Abu Zahrah mendefinisikan :
اِخْرَاجُ اللَّفْظِ عَنْ ظَا هِرِ مَعْنَاهُ
اِلَى مَعْنَى اخَرَ يَحْتَمِلُه
ُ
Artinya: “Mengeluarkan lafal dari lahir maknanya kepada makna lain yang
ada kemungkinan untuk itu”
Jadi, ta’wil secara istilah berarti mengambalikan sesuatu pada maksud yang
sebenarnya, yakni menerangkan apa yang dimaksudnya. Sedangkan menta’wilkan
Al-Qur’an adalah membelokkan atau memalingkan lafaz-lafaz yang ada dalam
Al-Qur’an dari makna lahiriyah kemakna yang lainnya.[3]
Beberapa definisi
di atas yang berbeda menurut lahirnya dapat dirangkum dalam suatu rumusan
tentang definisi ta’wil yaitu:”memalingkan lafaz dari arti kepada arti
lain yang mungkin dijangkau oleh dalil.”
Dari
Rumusan yang sederhana itu dapat dilihat haqiqah yang merupakan cirri dari ta’wil
yaitu:
a.
Lafaz itu tidak
lagi dipahami menurut arti lahirnya
b.
Arti yang
dipahami dari lafaz itu adalah arti lain yang secara umum
c.
Peralihan dari
arti lahir kepada arti lain itu menyadar
kepada petunjuk dalil yang ada
Dalam
hubungan dengan lafaz tafsir ada ulama yang berpendapat bahwa kedua lafaz itu
sama artinya dari segi tinjauan pengalihan.Tetapi sebenarnya diantara keduanya
terdapat perpedaan. Menurut pengertian kalangan ulama, tafsir itu adalah
menyingkap makna Al-Quran dan menjelaskan terkandung di dalamnya.
Al-Raghib
mencoba membedakan antara ta’wil dan tafsir, bahwa tafsir lebih
umum dari ta’wil dan lebih banyak penggunaan dalam lafaz dan dalam arti
mufradat lafaz,sedangkan ta’wil lebih banyak penggunaanya dalam makna
dan banyak terdapat dalam kitab-kitab ilahiyat.
Pada
dasarnya setiap lafaz harus dipahami menurut lahirnya.Tetapi dalam keadaan
tertentu,tidak mungkin memahami suatu lafaz menurut lahirnya oleh karena itu
diberi kemungkinan untuk mengunakan takwil bila memenuhi syarat-syarat
yang di tentukan untuk takwil.
2.
Syarat-Syarat
Ta’wil
Adapun
syarat-syarat ta’wil adalah
a.
Lafaz itu dapat
menerima ta’wil seperti lafaz zhahir dan lafaz hash serta tidak berlaku
untuk muhkam dan mufassar
b.
Lafaz itu
mengandung kemungkinan untuk di ta’wil karena lafaz tersebut memiliki
jangkauan yang luas dan dapat diartikan untuk di ta’wil serta tidakasing
dengan pengalihan kepada makna lain tersebut
c.
Ada hal-hal yang
mendorong untuk ta’wil seperti:
-
Bentuk lahir
lafaz berlawanan dengan kaidah yang berlaku dan diketahui secara dharuri
atau berlawanan dengan dalil yang lebih tinggi dari dalil itu
-
Nash itu
menyalahi dalil lain yang lebih kuat dilalahnya contohnya:suatu lafaz dalam
bentuk zhahir diperuntukan untuk suatu objek tetapi ada makna lain yang
menyalahinya dalam bentuk nash
-
Lafaz itu harus
mempunyai sandaran kepada dalil dan tidak dapat bertentangan dengan dalil yang
ada.
3.
Bentuk-Bentuk
Ta’wil
Pada
Prinsipnya ulama sepakat mengatakan adanya penggunaan ta’wil.Perbedaan terletak pada kadar penggunaan dan
penerimaanya.
1) Dari
segi diterima atau tidaknya suatu ta’wil ada dua bentuk ta’wil,
yaitu:
a. Ta’wil
maqbul
atau ta’wil yang diterima, yaitu ta’wil yang telah memenuhi
persyaratan di atas. Ta’wil dalam bentuk ini diterima keberadaannyaoleh
ulama Ushul.
b. Ta’wil
ghair al-maqbul atau ta’wil yang ditolak, yaitu ta’wil
yang hanya didasarkan kepada selera atau dorongan lain dan tidak terpenuhi
syarat yang ditentukan.
2) Dari
segi dekat atau jauhnya pengalihan makna lafaz yang di ta’wil dari makna
zhahimnya, ta’wil dibagi kepada dua bentuk:
a. Ta’wil
qarib,
yaitu ta’wil yang tidak jauh beranjak dari arti zhahir-nya, sehingga
dengan petunjuk yang sederhana dapat dipahami maksudnya.
b. Ta’wil
ba’id,
yaitu pengalihan dari makna lahir suatu lafaz yang sebegitu jauhnya, sehingga
tidak dapat diketahui dengan dalil yang sederhana.
Bila
pada lafaz yang di-ta’wil itu terdapat dalil kuat yang akan memberikan
petunjuk kepada maknanya, maka ta’wil ini termasuk kepada yang maqbul.
Tetapi bila pada lafaz itu tidak terdapatdalil kuat yang menjelaskan dan tidak
dapat ketahui dengan dalil sederhana, maka ta’wil ini termasuk yang ghairu
maqbul. Mengenai ta’wil kepada makna yang jauh dari makna lahirnya,
terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama. Ulama Syafi’iyyah berpendapat
bahwa takwil itu harus dengan yang dekat dari arti lahirnya dan tidak boleh
dengan yang jauh. Sementara ulama Hanafiyah tidak menggunakan persyaratan
tersebut. Mereka hanya mensyaratkan supaya ta’wil itu sesuai dengan dalil
syara’ dan tidak menyalahinya.
Karena
ada perbedaan pendapat dalam persyaratan di atas, maka terdapat perbedaan
pendapat di antara kedua kelompok ulama itu dalam beberapa masalah furu’,
diantaranya yaitu:
a)
Bila seorang
laki-laki masuk islam dan mempunyai 10 orang istri yang dinikahinya secara
missal dalam suatu akad, ia harus memulai nikah dengan 4 orang di antaranya dan
menceraikannya yang lainnya. Tetapi bila yang 10 orang itu dinikahinya satu persatu
seacara berurutan, ia dapat mengukuhkan perkawinannya dengan 4 orang terdahulu,
degan perkawinan baru dan menceraikan yang lainnya. Ini adalah menurut pendapat
ulama Hanafiyah. Menurut ulama Syafi’iyah suami tersebut cukup memilih 4 orang
di antaranya untuk melanjutkan pernikahannya tanpa akad nikah yang baru dan
menceraikan yang lain, baik ia menihaki perempuan 10 orang itu sekaligus dalam
satu akad atau dia nikahi secara berurutan.
Ulama Syafi’iyah
beralasan dengan sabda Nabi kepda Ghailan al-Saqafi yang memiliki 10 orang
istri pada saat ia masuk islam:
أمْسِكْ
اَرْبَعًا وَفَارِقْ سَاءِرَهُنَّ
Artinya: tahan 4 orang dan ceraikan yang
lain.
Menurut ulama
Hanfiyah, ucapkan Nabi: “Tahan” maksudnya adalah “mulai lagilah” atau
“kukuhkanlah yang mula-mula”. Ketentuan inilah yang sesuai dengan syara’.
Pemahaman ulama
Hanafiyah itu dianggap oleh ulama Syafi’iyah sebagai ta’wil yang jauh, karena
tidak mungkin Nabi berbicara dengan sesorang yang baru masuk Islam tanpa ada
penjelasan seperti itu. Oleh karena itu mereka berpendapat bahwa menurut
lahirnya kata “amsik” itu, berarti “mengukuhkan” dan bukan “memulai”. Ta’wil
seperti ini lebih dekat dan tidak menyalahi jiwa tasyi’ atau filosofi penetapan
hukum.
Bila seseorang
melakukan kejahatan atau pelanggaran dalam hukum Islam, untuk menghapus
kesalahannya itu di depan Allah ia harus membayar kafarah yang diantaranya
adalah keharusan memberi makan 60 orang miskin. Hal ini antara lain terdapat
pada surat al-Mujadalah (58): 4:
فَمَنْ
لَمْ يَسْتَطِعْ فَإِطْعَامُ سِتِّيْنَ مِسْكِيْنًا
Artinya:
“maka siapa yang tidak kuasa (wajiblah atasnya) memberi makan enam puluh orang
miskin”
Dalam
menetapkan 60 orang miskin itu, apakah yang dimaksud adalah 60 orang, masing-masing
satu hari, atau satu orang miskin untuk selama 60 hari. Di sini terdapat
perbedaan pendapat di kalangan ulama.
Ulama
Syafi’iyah berpendapat bahwa yang diberi makan itu adalah 60 orang miskin,
masing-masing satu hari, sesuai dengan zhahir ayat diatas yang secara terang
menyebut “60 orang miskin” dan tidak
terpenuhi kewajiban ini dengan member makan satu orang miskin selama 60 hari.
Ulama
Hanafiyah berpendapat bahwa boleh memberi makan satu orang miskin untuk masa 60
hari sebagaimana bolehnya member makan 60 orang miskin untuk satu hari. Mereka
menta’wil-kan ayat tersebut (“member makan untuk 60 orang miskin”): kebutuhan
60 orang miskin untuk satu hari sama dengan kebutuhan satu orang miskin untuk
60 hari.
Ulama
Syafi’iyah menganggap pemahaman ulama Hanafiyah itu sebagai ta’wil yang jauh
karena cara tersebut berarti “menyelipkan” suatu yang tdiak tersebut dalam
ayat, yaitu “makanan”, antara kata “member makan” dengan kata “60 orang
miskin”. Juga sekaligus menghilangkan angka 60 untuk jumlah orang miskin.
Dalam
masalah zakat kambing yang telah mencapai nisab 40 ekor wajib dikeluarkan zakat
kambing berdasarkan hadis Nabi:
فِيْ
كُلِّ أَرْبَعِيْنَ شَاةً شَاةً
Artinya
“untuk setiap 40 ekor kambing zakatnya adalah 1 ekor kambing”.
Para
ulama berbeda pendapat dalam hal: Apakah untuk zakat itu harus berupa seekor
kambing, atau boleh pula dalam bentuk materi lain yang seharga seekor kambing.
Ulama
Hanafiyah berpendapat bahwa boleh saja mengeluarkan zakat dalam bentuk materi
lain yang seharga seekor kambing dan tidak mesti berupa kambing. Mereka
men-ta’wil-kan, bahwa yang dimaksud dalam hadis di atas (dengan seekor kambing)
adalah “nilai seekor kambing” karena yang dimaksud dengan mengeluarkan zakat
adalah menutupi kebutuhan orang miskin dan kebutuhan atas suatu materi sama
dengan kebutuhan atas nilai materi
tersebut.
Ulama
Syafi’iyah memahami bahwa yang dimaksud oleh hadis adalah kewajiban
mengeluarkan kambing itu sendiri; dan tidak boleh diganti dengan materi lain
seharga seekor kambing. Mereka menganggap ta’wil yang dilakukan ulama Hanafiyah
itu sebagai ta’wil yang jauh karena dari ta’wil itu lazimnya adalah tidak wajib
mengeluarkan zakat kambing. Kalau tidak wajib berarti “tidak memadai”; artinya
kalau yang dikeluarkan adalah bukan kambing, berarti kewajiban zakat belum
terpenuhi.
Dalam
ketiga contoh diatas yang menjadi khilafiyah di antara ulam, tampak jelas bahwa
perbedaannya terletak pada pesyaratan yang ditetapkan masing-masing ulama dan
dari segi pandangan mereka mengenai “jauh” dan “dekat” suatu ta’wil. Sebenarnya
ulama Hanafiyah juga tidak menggunakan ta’wil yang jauh. Dalam contoh-contoh di
atas, ulama Hanafiyah berpendapat bahwa ta’wil yang merekagunakan bukan ta’wil
yang jauh, tetapi ulama Syafi’iyah menganggapnya sebagai ta’wil jauh.[4]
C.
Naskh
1.
Pengertian
Nasakh
Kata
naskh secara harfiah atau bahasa mempunyai arti menghapus, memindahkan,
mengganti, atau mengubah. Sedangkan secara istilah kata naskh menurut
para ahli diartikan sebagai berikut:
a.
Menurut
Subhi Ash-Shalih, nasakh adalah mengangkat hukum syara’ dengan dalil
syara’
b.
Menurut
Qaththan, naskh adalah mengangkat hukum syara’ dengan dalil syara’ yang
lain.[5]
c.
Menurut
Muhammad Hashim Kamali, nasakh adalah penghapusan atau penggantian suatu
ketentuan syari’ah oleh ketentuan yang lain.[6]
Dari beberapa definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa nasakh
adalah menghapus atau membatalkan hukum syara’ dan digantikan dengan hukum lain
yang datang kemudian. Jadi dengan adanya nasakh akan melahirkan suatu dalil
sebagai penghapus dari dalil yang sebelumnya. Jika ada dalil yang menghapus (naskh)
maka ada dalil yang dihapus. Dalil yang terdahulu yang dihapus itu disebut “mansukh”
yang artinya dihapus.
Didalam Al-Qur’an
juga diterangkan mengenai adanya nasakh dalam surat Al-Baqarah ayat 106,
yaitu:
مَا نَنْسَخْ مِنْ ءَايَةٍ أَوْنُنْسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مِنْهَا
أَوْ مِثْلِهَا أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ
Artinya: “ayat mana saja yang Kami nasakhkan atau Kami jadikan
(manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang
sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha
Kuasa atas segala sesuatu”.
Jadi, dalam ayat ini dapat diketahui bahwasanya nasakh
memang terjadi didalam hukum Islam sesuai dengan ketentuan Allah dan
disesuaikan dengan situasi dan kondisi masyarakat pada masa Al-Qur’an itu
diturunkan.[7]
2.
Syarat
Nasakh
Para
ulama mengemukakan bahwa ada beberapa syarat dalam nasakh sehingga
nasakh tersebut dapat diterima, yaitu:
a.
Yang
di nasakh adalah hukum syara’, yaitu hukum-hukum yang bersifat amaliyah
bukan dalil yang menyangkut dalil akal maupun dalil akidah.
b.
Dalil
nasakh datang secara terpisah dengan dalil yang di mansukh, dan
dalil yang di nasakhkan (mansukh) harus muncul lebih dahulu dari
dalil yang menasakhkan.
c.
Dalil
hukum yang dinasakhkan (mansukh) tidak menunjukkan berlakunya
hukum untuk selamanya.[8]
Contohnya:
وَلاَ تَقْبَلُوْا لَهُمْ شَهَادَةً اَبَدًا
Artinya: “dan janganlah kamu terima kesaksian mereka untuk
selamanya…” (QS. An-Nur:4). Lafal اَبَدًا atau selamanya menunjukkan bahwa larangan ini
adalah hukum yang abadi dan tidak akan hilang.
Juga didalam hadits Rosulullah SAW:
الْجِهَادُ مَضٍ اِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ
Artinya: “Jihad terus berlangsung sampai hari kiamat”. Lafal يَوْمِ الْقِيَامَةِ menunjukkan bahwa jihad akan tetap berlangsung sampai dunia
masih ada.[9]
d.
Hukum
yang terdapat dalam nasakh bertentangan dengan hukum yang terkandung
dalam mansukh.
e.
Hukum
yang dinasakh kan harus hal-hal yang menyangkut dengan perintah,
larangan, dan hukuman dan tidak terjadi pada hal-hal yang menyangkut berita.
f.
Hukum
yang terkandung dalam mansukh telah ditetapkan sebelum munculnya nasakh.
g.
Status
nash nasakh harus sama dengan nash mansukh.[10]
3.
Pembagian Nasakh
Pembagian
nasakh didasarkan atas prinsip umum sebagai berikut:
اِنَّ النَّصَّ لاَيُنْسِخُهُ اِلاَّنَصٌّ فِيْ قُوَّتِهِ
اَوْ اَقْوى مِنْهُ
Artinya:
“Bahwasanya nash tidaklah dinasakhkan kecuali dengan nash yang sejajar
kekuatannya atau lebih kuat dari padanya”.
Berdasarkan prinsip umum tersebut maka nasakh dibagi menjadi
empat, yaitu:
1)
Nasakh Al-Qur’an dengan Al-Qur’an
Nasakh ini telah disepakati kebolehannya oleh para ulama.
Contohnya, surat Al-Baqarah ayat 240 yang dinasakh dengan surat Al-Baqarah ayat
243 yang berisi tentang masa iddah
perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya yang semula masanya satu tahun
menjadi empat bulan sepuluh hari.
2)
Nasakh Al-Qur’an dengan sunnah Mutawatir.
Al-Qur’an juga dapat dinasakhkan dengan sunnah Mutawatir karena
semuanya adalah bersifat qath’I dan masih dalam satu tingkatan kekuatan.
Contohnya, nasah Al-Qur’an yang menunjukkan pengharaman bangkai dikhususkan
dengan sunnah amaliyah yang mutawatir yang menunjukkan pembolehan bangkai
lautan dan dikukuhkan oleh Rasulullah melaluisabdanya:
هُوَ الطَّهُوْرُ مَاؤُهُ الحِلُّ مَيْتَتُهُ
Artinya: “Lautan itu suci airnya dan halal bangkainya”
3)
Nasakh sunnah dengan sunnah.
Nash sunnah yang tidak mutawatir terkadang satu sama lain dapat
saling mensakhkan karena nash-nash itu masih dalam satu tingkatan kekuatan dan
terkadang juga dinasakhkan dengan nash Al-Qur’an dan sunnah mutawatir.
Berdaarkan ketentuan tersebut maka dapat diambil kesimpulan bahwa
nash Al-Qur’an atau sunnah mutawatir tidak dapat dinasakh dengan sunnah yang
tidak mutawatir. Hal ini dikarenakan nash yang tingkatannya lebih kuat tidak
dapat dinasakhkan dengan nash atau dalil yang tingkatannya lebih rendah. Selain
itu diperoleh pula ketetapan bahwa tidak ada lagi nasakh terhadap hukum syar’I
dalam Al-Qur’an atau sunnah sesudah Rasulullah wafat, karena sesudah Rasulullah
wafat nash telah terhenti dan hukum telah tetap sehingga tidak mungkin
menasakhkan nasah dengan qiyas ataupun dengan ijtihad.[11]
4.
Macam-Macam
Naskh
Nasakh
terkadang muncul secara eksplisit (sarih) ataupun secara implisit (dimni),
adapun penjelasannya adalah sebagai berikut:
- Nasakh bersifat eksplisit yaitu nash yang menghapus secara jelas
membatalkan suatu ketentuan dan menggantikannya dengan ketentuan yang lain. Contohnya,
didalam hadis yang diriwayatkan bahwasanya Rasulullah pernah bersabda “aku
melarang kamu untuk menyimpan daging kurban, karena begitu banyak kerumunan
orang yang merayakan Idul Adha. Kamu sekarang boleh menyimpannya seberapa kamu
mau”.
لَا يَأْكُلْ أَحَدٌ مِنْ لَحْمِ أُضْحِيَّتِهِ فَوْقَ ثَلَاثَةِ
أَيَّامٍ
Artinya: “Janganlah seseorang memakan daging
kurbannya melebihi tiga hari”.
نَهَيْتُكُمْ عَنْ لُحُومِ الْأَضَاحِيِّ فَوْقَ
ثَلَاثٍ ، فَأَمْسِكُوا مَا بَدَا لَكُمْ
Artinya: “Aku telah melarang kalian dari (memakan)
daging-daging kurban setelah tiga hari, maka (sekarang) simpanlah apa yang ada
untuk kalian”
Dari
hadits ini diketahui bahwa pada perintah pertama Nabi melarang untuk menyimpan
daging qurban, hal ini karena pada waktu itu banyak orang yang menghadiri
perayaan idul adha di Madinah sehingga Nabi ingin agar mereka semua diberi
makan. Namun kemudian nabi memperbolehkan untuk menyimpan daging hewan qurban
karena keadaannya telah mengalami perubahan.
- Naskh bersifat implisit, yaitu nash yang membatalkan tidak
menjelaskan semua fakta yang berkaitan. Contonya, ketentuan dalam surat
Al-Baqarah ayat 180 yang memperbolehkan wasiat kepada orang tua dan keluarga.
كُتِبَ عَلَيْكُمْ
إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ
لِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ ۖ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ
Arti: “Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu
kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak,
berwasiat untuk ibu-bapakdan karib kerabatnya secara ma’ruf, (ini adalah)
kewajiban atas orang-orang yang bertakwa”.
Namun ketentuan ini dihapus oleh ketentuan nash yang lain yaitu
dalam surat An-Nisa ayat 11 yang memberikan hak kepada ahli waris untuk
mendapatkan bagian-bagian tertentu dalam kewarisan.
يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ
الْأُنْثَيَيْنِ فَإِنْ كُنَّ نِسَاءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ
Artinya: “Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk)
anak-anakmu. Yaitu : bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang
anak perempuan….”.[12]
Nasakh yang bersifat implisit terbagi lagi menjadi dua, yaitu
nasakh kulli (nasakah secara menyeluruh) dan nasakh juz’i (nasakah sebagian).
-
Nasakh kulli
adalah pembatalan hukum oleh Syari’ terhadap hukum-hukum yang disyari’atkan
secara keseluruhan. Maksudnya keseluruhan suatu nash dihapus oleh nash yang
lain dan ditetapkan suatu ketentuan baru untuk menggantikannya. Contohnya: membatalkan
iddah wanita yang ditinggal mati oleh suaminya yang sebelumnya ditetapkan salam
satu tahun kemudian diganti dengan iddahnya selama 4 bulan 10 hari. Allah SWT
berfirman:
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ
مِنكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا وَصِيَّةً لأَزْوَاجِهِم مَّتَاعًا إِلَى الْحَوْلِ
غَيْرَ إِخْرَاجٍ
Artinya: “Dan
orang-orang yang akan mati diantara kamu dan meninggalkan istri-istri,
hendaklah membuat wasiat untuk istri-istrinya (yaitu) nafkah sampai setahun
tanpa mengeluarkannya (dari rumah)…” (QS. Al-Baqarah:240)
Kemudian Allah
SWT berfirman:
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ
مِنكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ
وَعَشْرًا
Artinya: “Dan orang-orang
yang mati di antara kamu serta meninggalkan istri-istri hendaklah mereka
(istri-istri) menunggu empat bulan sepuluh hari….” (QS. Al-Baqarah: 243)
- Nasakh
Juz’i adalah pembatalan hukum oleh Syari’ dalam kaitannya dengan sebagian
individu dan membatalkan hukum untuk sebagian kondisi. Maksudnya nash yang
menasakhkan itu tidak membatalkan pemberlakuan hukum yang pertama tetapi
membatalkannya dalam kaitannya dengan sebaian individu atau sebagian kondisi.
Atau dapat juga diartikan suatu nash yang hanya sebagian dihapus oleh nash yang
lain sedangkan bagian yang tidak terhapus hukumnya masih tetap berlaku. Contohnya
ayat Al-Qur’an tentang tuduhan fitnah yang sebagian dihapus oleh ayat li’an.
Allah berfirman:
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا
بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً
Artinya: “Dan
orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan yang baik (berzina) dan mereka
tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka delapan puluh kali…”
(QS. An-Nur: 4)
Allah juga
berfirman:
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ أَزْوَاجَهُمْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُمْ شُهَدَاءُ
إِلا أَنْفُسُهُمْ فَشَهَادَةُ أَحَدِهِمْ أَرْبَعُ شَهَادَاتٍ بِاللَّهِ إِنَّهُ
لَمِنَ الصَّادِقِينَ
Artinya:
“Dan orang-orang yang menuduh istrinya (berzina), padahal mereka tidak
mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka kesaksian masing-masing
orang itu ialah empat kali bersumpah dengan (nama) Allah bahwa sesungguhnya dia
termasuk orang yang berkata benar” (QS. An-Nur: 6)
Dari kedua ayat
tersebut diketahui bahwasanya di ayat pertama menunjukkan bahwa orang yang
menuduh wanita baik-baik berzina yang tidak dapat menunjukkan buktinya maka di
dera 80 kali, baik penuduhnya adalah suaminya sendiri atau orang lain.
Sedangkan ayat kedua menunjukkan bahwa apabila penuduh zina adalah suaminya
sendiri maka tidak di dera melainkan si suami dan istrinya saling bersumpah
li’an.[13]
5.
Hikmah Nasakh
Nasakh
terjadi terhadap hukum syar’i yang dapat mewujudkan kemaslahatan bagi kehidupan
manusia. Kemaslahatan manusia terus mengalami perubahan sesuai dengan situasi
dan kondisi mereka. Al-Maraghi menjelaskan hikmah dari adanya nasakh
dengan menyatakan “hukum-hukum tidak
diundangkan kecuali untuk kemaslahatan manusia dan hal ini berubah atau berbeda
akibat perbedaan waktu dan tempat, sehingga dengan demikian suatu nash atau
hukum yang dinasakh akan menjadi lebih baik dari hukum semula atau sama dari
segi manfaatnya untuk hamba-hamba Allah”[14]
D.
Muradif
1.
Pengertian Muradif
Muradif menurut bahasa artinya adalah: membonceng/ ikut serta. Muradif yang
dimaksudkan oleh ahli ushul fiqih adalah “beberapa lafadz terpakai untuk
satu makna”. Contoh:
a.
الآَسَدُdan اَللَّيْثُ
artinya adalah “singa”
Dari keterangan diatas jelaslah bagi kita bahwa dua, tiga atau
beberapa lafadz yang mempunyai satu makna dinamakan lafadz muradif.[15]
Dapat ditarik kesimpulan bahwa ketika kita menenmui lafadz yang berbeda-beda
namun memiliki arti yang sama maka dapat disebut dengan lafadz muradif.
Muradif sendiri dari
berbagai kalangan ada yang setuju untuk memakainya dan ada yang tidak,
dikarenakan setiap manusia memiliki pemahaman yang berbeda-beda. Selain itu
salah satu kemukjizatan Al-Qur’an dan ketinggian bahasanya adalah melalui kata
muradif. Pemahaman yang mendalam terhadap konteks ayat sangat mendukung untuk
memakhami kata muradif dan untuk membedakan arti bagi kata-kata yang
dianggap muradif.
2.
Hukum
Muradif
Hukum muradif yang dimaksudkan disini adalah tentang
timbulnya persoalan yang dikarenakan adanya lafadz-lafadz muradif, dalam
hal demikian, para ulama mempersoalkan hukumnya, seperti misalnya apakah boleh
satu lafadz diganti dengan lafadz lain yang maknanya sama.
Para ulama umumnya berpendirian bahwa bacaan Al-Qur’an yang
bersifat Ta’abudi, tidak boleh diganti dengan lafadz muradifnya
karena Al-Qur’an dan seluruh lafadznya adalah mengandung mukjizat, sedang
muradif satu lafadz dalam Al-Qur’an bukanlah teks Al-Qur’an yang dengan
sendirinya tidak mengandung mu’jizat.
Sehubungan dengan masalah muradif ada juga para ulama yang
berselisih pendapat dalam hal-hal tertentu, seperti dalam masalah dzikir. Dalam
masalah dzikir itupun bagi golongan yang membenarkan muradif, memberikan dua
syarat yang harus dipenuhi, yakni:
1.
Boleh
dipakai lafadz muradif, bila penggantian lafadz muradif tersebut tidak
terdapat halangan dari agama, baik secara jelas atau samar-samar.
2.
Boleh
dipakai lafadz muradif, bila penggantian lafadz boleh dipakai lafadz
muradifnya itu berasal dari satu bahasa, yakni sama-sama bahasa Arab misalnya.[16]
Seluruh ulama sepakat bahwa lafal yang satu dapat menenmpati tempat
lafal yang lain selama tidak berubah arti dan makna serta syara’ tidak
melarangnya. Mengenai lafal dalam Al-Qur’an tidak ada perbedaan pendapat. Yang
menjadi perbedaan pendapat adalah lafal diluar Al-Qur’an, seperti dzikir dalam
sholat dan lafal-lafal yang lain. Menurut pendapat Imam Maliki dan Imam Syafi’i
tidak boleh membaca takbir selain lafal “Allahu Akbar”. Menurut Imam Abu
Hanifah boleh mengganti lafal takbir dengan lafal yang lain seperti “Allahu
A’dhim”, “Allahu A’la”.[17]
Dalam hukum pemakaian lafal muradif juga memiliki pendapat
yang berbeda-beda anatar ulama’, hal ini dimaksudkan agar setiap manusia mampu
memilih dan memilah mana yang baik untuk digunakan dan mana yang baik untuk
ditinggalkan. Pemakaian lafadz muradif boleh digunakan asalkan tidak
menyalahi aturan atau hukum yang telah ditentukan, namun lebih baik untuk
mengikuti lafadz-lafadz yang sudah ada sehingga tidak membingungkan akan
mengartikan sebuah lafadz. Atau dapat menggunakan lafadz muradif namun
hanya sebagai bahan pengetahuan saja.
E.
Musytarak
1.
Pengertian Musytarak
Musytarak artinya menurut bahasa adalah berserikat, berkumpul. Musytarak
yang dimaksud dalam ushul fiqih adalah: “Lafadz yang dibentuk untuk dua arti
atau lebih yang berbeda-beda.”[18]
Lafadz musytarak ialah lafadz yang dicetak untuk dua makna atau lebih
dengan cetakan yang bermacam-macam, dimana lafadz itu dapat menunjukkan makna
yang ditetapkan secara bergantian, artinya lafadz itu menunjukkan makna ini
atau makna itu. Sebagaimana lafadz ‘ain ditetapkan menurut bahasa untuk
pandangan, sumber mata air, dan untuk mata-mata.[19]
Jadi
lafadz musytarak yaitu sebuah lafadz yang memiliki arti yang
berbeda-beda atau satu lafadz dengan bermacam-macam arti. Seperti lafadz “aid”
yang memiliki arti tangan, namun dalam pemaknaanya ada yang mengartikan tangan
mulai dari ujung jarii sampai pergelangan tangan, mulai dari ujung jari sampai
siku dan mulai dari ujung jari sampai bahu. Maka penggunaan lafadz musytarak
ini tergantung pada orang yang menafsikan lafadz itu sendiri. Yang terpenting
adalah sesuuai dengan kaidah yang telah ditentukan dan tidak menyalahi aturan.
2.
Sebab-sebab
Timbulnya Lafal Musytarak
a.
satu
kata dipergunakan oleh dua suku bangsa untuk makna yang berbeda. Kemudian
sampai kepada kita satu kata tersebut sudah mempunyai dua arti yang berbeda
tersebut. Seperti kata “nahil” sampai kepada kita sudah membawa dua
makna, yaitu dahaga dan segar.
b.
arti
majaz lebih terkenal daripada arti hakiki. Seperti lafal “sayyarah” arti
hakikinya adalah sesuatu yang merayap, sedang arti majazinya adalah mobil.
c.
lafal
yang diciptakan untuk tujuan satu makna kemudian diambil oleh syara’ dan
diartikan menurut syara’ seperti shalat diciptakan untuk makna do’a, kemudian
dialihkan kepada pengertian syara’ menjadi: suatu perbuatan yang dimulai dengan
takbir dan disudahi dengan salam.[20]
Penyebab
timbulnya lafadz musytarak ada berbagai macam seperti yang disebutkan
diatas, tanpa kita mengetahui asalnya namun dapat kita lihat hasilnya, sebagian
juga lebih mengnal arti majaznya daripada hakikinya dan yang terakhir lafadz
musytarak yang lafadznya hanya satu namun memiliki arti yang berbeda-beda ini
menandakan bahwa dalam memaknakan sebuah lafadz penafsir dapat lebih
mengembangkan arti dari lafadz tersebuh dengan tujuan untuk memahamkan atau
untuk memperjelas arti dari lafadz.
3.
Macam-Macam Lafadz Musytarak
a.
Berupa
isim. Contoh:
وَالْمُطَلَّقَأتُ
يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاَثَةَقُرُوْءٍ
Artinya: “wanita-wanita
yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tigakali quru'.”(QS.
Al-Baqarah: 228)
Dalam ayat tersebut terdapat lafadz “quru” yang dapat diartikan
haid atau suci.
Berupa fi’il, seperti fi’il amar. Contoh:
فَانْكِحُواْ
مَاطَابَلَكُمْ مِنَالنَّسَاءِ
Artinya: “Maka
kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi...” (QS. An-Nisa’:3)
Dalam ayat tersebut terdapat fi’il amr “ankihu” (kawinilah)
menunjukkan arti wajib dan sunnah. Menurut ulama Islam (jumhur) lafal amr
tersebut tidak berarti wajib melainkan sunnah, tetapi ulama al-Dzahiri,
mengandung arti wajib
b.
Berupa
huruf, seperti wawu. Contoh :
وَلاَ تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِاسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ
وَإِنَّهُلَفِسْقٌ
Artinya: “dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang
tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang
semacam itu adalah suatu kefasikan.”(QS. Al-An’am: 121)
Huruf wawu dalam ayat tersebut dapat diartikan sebagai huruf
“hal” (keadaan), dapat pula diartikan sebagai huruf “athaf”
(penghubung). Apabila diartikan sebagai huruf athaf (penghubung), maka yang
dimaksud oleh ayat tersebut adalah semua binatang yang disembelih tidak dengan
atas nama Allah atau atas nama selain Allah. Apabila diartikan sebagai huruf
hal (keadaan), maka arti dan maksud ayat tersebut adalah dilarang memakan
binatang yang tidak atas nama Allah atau atas nama selain Allah pada saat
menyembelihnya, karena keadaan perbuatan seperti itulah yang termasuk perbuatan
fasik.[21]
Ada tiga macam bentuk lafadz musytarak yang mana dalam penggunaanya
memiliki arti yang berbeda-beda. Ada yang berupa isim atau kata benda, ada yang
berupa fi’il atau kata kerja dan ada yang berupa huruf dimana masih
bersangkutan dengan kata sebelumnya atau selanjutnya pada kalimat itu sendiri.
4.
Hukum
Musytarak
Yang dimaksudkan hukum musytarak adalah tentang boleh tidaknya
menggunakan lafadz musytarak. Tentang hal ini ulama berselisih pendapat, ada
yang memperbolehkan dan ada yang tidak.[22]Dalam
menentukan hukum musytarak dapat dilihat dari segi makna musytarak, qarinah
musytarak dan musytarak tidak berqarinah.
a.
Makna
Musytarak
Apabila
musytarak mempunyai makna lughawi dan makna syar’i, maka yang
dipakai adalah makna syar’i, seperti makna shalat, menurut arti lughawi
adalah do’a dan menurut arti syar’i adalah suatu perbuatan ysng dimulsi dengan
takbir dan disudahi dengan salam. Lafal “thalaq” menurut arti lughawi
adalah lepas dan menurut syar’i adalah melepas ikatan perkawinan.
b.
Qarinah
Musytarak
Apabila terjadi dalam satu nash syar’i berkumpul beberapa makna
lughawi, maka harus diambil satu makna saja dari beberapa makna tersebut, sebab
syar’i tidak menghendaki semua arti tersebut. Untuk menentukan satu makna dari
beberapa makna tersebut, perlu dicari qarinah yang menunjukkan sesuai dengan
makna yang dimaksud, sesuai dengan yang dikehendaki nash. Contoh:
وَالسَّارِقُ وَالسَارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا
Artinya: “laki-laki
yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya”(QS.
Al-Maidah:38)
Dalam ayat tersebut terdapat lafadz “aidiyakum” (tangan
keduanya) mengandung beberapa arti lughawi, yaitu mulai darin ujung jari sampai
pergelangan tangan, mulai dari ujung jari sampai siku dan dari ujung jari
sampai bahu, tangan kanan, tangan kiri dan sebagainya. Untuk memilih satu makna
dari beberapa makna tersebut, terdapat petunjuk Rasulullah SAW. bahwa yang
dimaksud dalam ayat tersebut adalah tangan kanan, mulai dari ujung jari sampai
pergelangan tangan (telapak tangan). Petunjuk beliau inilah sebagai qarinah.
c.
Musytarak
yang tidak memiliki qarinah.
Musytarak yang tidak memiliki qarinah diperselisihkan ulama dalam
menentukan arti.
-
Menurut
madzhab Hanafi lafadz musytarak tidak dipakai untuk keseluruhan arti banyak
dalam satu pemakaian. Seandainya yang dimaksud untuk keseluruhan arti yang
banyak, lafadz itu bukan musytarak lagi dan juga bukan arti majazi, tetapi
disebut lafadz amm.
-
Menurut
madhzab Syafi’i dan Mu’tazilah, apabila tidak ada qarinah yang menunjukkan
kepada arti yang dikehendaki, maka lafadz musytarak dapat diambil seluruh
artinya, selama arti-arti tersebut dapat digabungkan. Contoh:
إِنَّ اللَّهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّ يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ امَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيْمًا
Artinya:”Sesungguhnya
Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang
beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan
kepadanya.”(QS. Al-Ahzab:56)
Dalam ayat tersebut terdapat lafadz “yushalluna”
(bershalawat) termasuk lafal musytarak yang dapat diartikan memberi rahmat dan
memberi do’a. Untuk menentukan salah satu dari keduanya tidak didapatkan suatu
qarinah, maka kedua arti tersebut dapat digabungkan (mengambil keduanya)
sekaligus. Arti memberi rahmat adalah arti yang paling pantas bagi Allah SWT,
memberi do’a adalah arti yang pantas bagi para malaikat dan memohon syafaat
bagi para umat Nabi Muhammad.[23]
Hukum penggunaan lafadz musytarak memiliki dua pendapat, ada
yang membolehkan dengan alasan dalam nash tidak semua lafadz dapat diartikan
dengan sebenarnya ada yang harus diumpamakan. Namun sebagian ulama juga ada
yang tidak membolehkan lafadz musytarak dikarenakan menyalahi aturan. Ada juga
lafadz musytarak yang memerlukan qarinah dan yang tidak menggunakan qarinah.
F.
Kesimpulan
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa untuk menetapkan dan menggali hukum Islam diperlukan adanya
pemahaman dalam kaidah-kaidah dalam ushul fiqh yang akan membantu dalam
penggalian dan penetapan suatu hukum Islam. kaidah-kaidah yang dibahas dalam
materi ini adala ta’wil, nasakh, muradif dan musytarak. Yang mana
ke-empat kaidah tersebut berhubungan juga dengan kaidah kebahasaan didalam
nash-nash yaitu Al-Qur’an maupun hadits.
Sering
kali kita dijumpai dalam Al-Qur’an maupun kebahasaan lafadz-lafadz yang
memiliki makna yang berbeda dengan lafadz aslinya. Seperti memindahkan suatu
perkataan dari makna yang terang (dzahir) kepada makna yang tidak terang
(lemah) karena ada suatu dalil yang menyebabkan makna yang kedua tersebut
dipakai atau disebut dengan ta’wil. Kemudian juga ada penghapusan dalil
yang terdahulu dan digantikan dengan dalil yang baru yang lebih kuat atau
disebut dengan nasakh. Selain itu ada juga lafadz yang berbeda-beda
namun memiliki arti yang sama atau yang disebut muradif, begitu pula
sebaliknya terdapat satu lafadz namun memiliki arti yang banyak atau disebut
dengan musytarak.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar,
Abu. Ulumul Qur’an sebuah pengantar. Pekanbaru:Amzah
Djalil, Basiq. 2010. Ilmu Ushul Fiqih. Jakarta : Prenada
Media Group
Kamali, Hashim. 1996. Prinsip dan Teori-Teori Hukum Islam (Usul
al-Fiqh). Yogyakarta:Pustaka Pelajar
Khallaf,
Syekh Abdul Wahab.1995. Ilmu ‘Ushul Fikh. Jakarta: PT Rineka Cipta
Khallaf, Abdul Wahhab. 2014. Ilmu Ushul Fiqh. Semarang: Dina
Utama
Shihab, Quraish. 2004. Membumikan Al-Qur’an. Bandung:Mizan
Syarifudin,
Amir.2011. Ushul Fiqh Jilid 2. Jakarta: Kencana
Syarifuddin, Amir. 2012. Garis-Garis Besar Ushul Fiqh.
Jakarta: Kencana
Tharaba, Fahim. 2016. Hikmatut Tasyri’ wa Hikmatus Syar’i
(Filsafat Hukum Islam). Malang: CV. Dream Litera Buana
Yusuf, Kadar M. 2012. Studi Al-Qur’an. Jakarta: Amzah
Catatan:
Perujukan makalah ini agak minimalis, tetapi selainnya
sudah cukup baik.
[1]
Syekh Abdul Wahab Khallaf, Ilmu ‘Ushul Fikh, (Jakarta: PT Rineka Cipta,
1995), hal. 221-222
[2]Satria effendi,Ushul Fiqh,(Jakarta:Prenada Media,2005),
hal 230
[3]Abu
Anwar, Ulumul Qur’an sebuah pengantar, (Pekanbaru:Amzah, 2005), hal. 99
[4]Amir
Syarifudin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta: Kencana, 2011), hal. 46
[5]Kadar
M. Yusuf, Studi Al-Qur’an, (Jakarta: Amzah, 2012), hal. 108-109
[6]
Hashim Kamali,Prinsip dan Teori-Teori Hukum Islam (Usul al-Fiqh), (Yogyakarta:Pustaka
Pelajar, 1996), hal. 193
[7]Kadar
M. Yusuf, Op.Cit, hal. 109
[8]Amir
Syarifuddin, Garis-Garis Besar Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2012),
hal. 86
[9]
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Semarang: Dina Utama, 2014),
hal. 422
[10]
Kadar M. Yusuf,Op.Cit, hal. 111
[11]Abdul
Wahhab Khallaf,Op.Cit, hal. 423-424
[12]Muhammad
Hashim Kamali, Prinsip dan Teori-Teori Hukum Islam (Ushul al-Fiqh),
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hal. 199-200
[13]Abdul
Wahhab Khallaf,Op.Cit, hal. 417-418
[14]Quraish
Shihab, Membumikan Al-Qur’an, (Bandung:Mizan, 2004), hal. 145
[15]
Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih, (Jakarta : Prenada Media Group, 2010),
hal. 115
[16]
Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih, (Jakarta : Prenada Media Group, 2010),
hal. 116
[17]Fahim
Tharaba, Hikmatut Tasyri’ wa Hikmatus Syar’i (Filsafat Hukum Islam), (Malang:
CV. Dream Litera Buana, 2016), hal. 227
[18]
Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih, (Jakarta : Prenada Media Group, 2010),
hal. 117
[19]
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih, (Semarang: Dina Utama Semarang,
201)4, hal. 324
[20]Fahim
Tharaba, Hikmatut Tasyri’ wa Hikmatus Syar’i (Filsafat Hukum Islam), (Malang:
CV. Dream Litera Buana, 2016), hal. 228
[22]Basiq
Djalil, Ilmu Ushul Fiqih, (Jakarta : Prenada Media Group, 201)0, hal.
117-118
[23]Fahim
Tharaba, Hikmatut Tasyri’ wa Hikmatus Syar’i (Filsafat Hukum Islam), (Malang:
CV. Dream Litera Buana, 2016), hal. 229-231
Tidak ada komentar:
Posting Komentar