NASIONALISME
PERSPEKTIF AL-QUR’AN DAN HADIST
Afnida Nur
Chikmah, Dwi Febriyanti, Lailatul Firdausy
Mahasiswa
Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Kelas C Angkatan 2015
Universitas
Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
E-mail: afnieda@gmail.com
Abstract
This
article discusses
about the nationalism perspective of Al-Quran and
Hadith. The discussion
contains of the nation of nationalism,
history of nationalism, and nationalism according
to Al-quran and Hadith. Nationalism
is a state of the soul and a
belief, embraced by a large number of individual
humans which from nationality. Nationalism emerged and developed in the west since 15th
century AD. British nationalism became the forerunner of western nationalism.
Furthermore, East nationalism
(Asia and Africa) including Indonesia is a continuation
of the developed idea
of nationalism that emerged for the first time in the west.
Indonesian nationalism emerged along withthe emergence of awareness of the existence of the nation it self
which want to escape from colonization so that the spirit of nationalism arises from the spirit
of resistance against colonialism.
The next discussion is nationalism which a seen
by explaining the meaning of nationalism according to Islamic point of
view.
Keywords: Nasionalism,
Al-Qur’an, Hadith
Abstrak
Artikel ini
membahas tentang nasionalisme perspektif Al-Quran dan Hadist. Dalam pembahasan ini memuat tentang pengertian
nasionalisme, sejarah nasionalisme, dan nasionalisme menurut Al-Quran dan
Hadis. Nasionalisme merupakan suatu keadaan jiwa dan suatu kepercayaan, dianut
oleh sejumlah besar manusia perseorangan sehingga mereka membentuk suatu
kebangsaan. Nasionalisme muncul dan berkembang di Barat sejak abad ke 15
Masehi. Nasionalisme Inggris menjadi cikal bakal nasionalisme barat.
Selanjutnya Nasionalisme Timur (Asia dan Afrika) termasuk Indonesia merupakan
lanjutan dari perkembangan ide nasionalisme yang muncul pertama kalinya di
barat. Nasionalisme Indonesia muncul bersamaan dengan munculnya kesadaran akan
adanya bangsa sendiri yang ingin lepas dari penjajahan asing sehingga semangat
nasionalisme lahir dari semangat perlawanan terhadap penjajahan. Pembahasan
selanjutnya yaitu Nasionalisme yang di lihat dari perpektif Al-Qur’an dan
Hadist, dengan menjelaskan pengertian nasionalisme menurut pandangan Islam.
Kata Kunci: Nasionalisme,
Al-Qur’an, Hadist
A. Pendahuluan
Nasionalisme
merupakan suatu paham kebangsaan yang timbul karena adanya perasaan senasib dan
sejarah untuk hidup bersama sebagai suatu bangsa yang merdeka, berdaulat, dan
bersatu dengan memiliki cita-cita yang sama dalam membentuk suatu negara
kebangsaan. Hal ini didasarkan atas rasa cinta terhadap tanah air, bangsa dan
negara serta ideologi dan politik. Oleh karena itu nasionalisme sering
dipandang sebagai ideologi pemelihara bangsa.
Secara
historis paham nasionalisme berawal dari Barat (Eropa) sekitar abad ke-15
kemudian mulai berkembang ke Timur terutama (Asia dan Afrika) termasuk
Indonesia sekitar abad ke-20, yang dapat mempengaruhi sisi politik kekuasaan.
Dalam artikel ini menjelaskan nasionalisme Barat dan nasionalisme Timur
terdapat perbedaan yang signifikan.
Nasionalisme Barat yang awalnya lekat dengan liberalisme lambat laun
berubah menjadi kekuatan kolonialisme, sehingga terjadi persaingan antara
Inggris dan Perancis untuk memperkuat kolonialisme di berbagai benua Timur
terutama Asia dan Afrika termasuk Indonesia. Kolonialisme tersebut
membangkitkan semangat dan upaya-upaya perlawanan terhadap Barat dengan
menggunnakan ide yang lahir dan berkembang di Barat yaitu nasionalisme. Namun
nasionalisme Timur berlawanan dengan nasionalisme Barat yang identik dengan
serang menyerang karena sistem kolonialisme, sedangkan nasionalisme Timur
mempunyai rasa kemanusiaan.
Islam
mengakui bahwa Tuhan menjadikan manusia berkelompok-kelompok dan
berbangsa-bangsa. Namun dalam Islam bahwasanya tidak diperbolehkan menjadikan
Nasionalisme yang fanatik. Oleh sebab itu, dalam artikel ini penulis akan
berupaya membahas tentang nasionalisme dalam perspektif al-quran maupun hadis
B.
Pengertian
Nasionalisme
Nasionalisme berasal dari kata nation yang
berarti bangsa. Bangsa mempunyai dua pengertian, yaitu dalam pengertian
antropologis serta sosiologis, dan dalam pengertian politis. Dalam pengertian
antropologis serta sosiologis bangsa adalah suatu masyarakat yang merupakan
suatu persekutuan-hidup yang berdiri sendiri dan masing-masing anggota
persekutuan-hidup tersebut merasa satu kesatuan ras, bahasa, agama, sejarah dan
adat istiadat. Persekutuan-hidup semacam ini dalam suatu negara dapat merupakan
persekutuan-hidup yang mayoritas dan dapat pula merupakan persekutuan hidup
minoritas. Bahkan dalam satu negara bisa terdapat beberapa persekutuan hidup
“bangsa” dalam pengertian antropologis, dan dapat pula anggota satu bangsa
tersebar di beberapa negara. Adapun yang dimaksud bangsa dalam pengertian politik
adalah masyarakat dalam suatu daerah yang sama, dan mereka tunduk kepada
kedaulatan negaranya sebagai suatu kekuasaan tertinggi ke luar dan ke dalam.[1]
Konsep nasionalisme sendiri lahir
ketika Ben Anderson mengungkapkan gagasannya tentang masyarakat khayalan (imagined
communities). Menurut Anderson nasionalisme adalah sebuah komunitas politik
berbayang yang dibayangkan sebagai kesatuan yang terbatas dan kekuasaan
tertinggi.[2]
Nation (bangsa) dalam pengertian politik inilah yang
kemudian merupakan pokok pembahasan tentang nasionalisme. Tetapi bangsa dalam
pengertian antropologis tidak dapat begitu saja ditinggalkan atau diabaikan,
sebab ia memiliki faktor obyektif. Meskipun tidak merupakan hal pokok, namun
sering menentukan bagi terbentuknya bangsa dalam pengertian politik. Jadi dalam
kedua pengertian bangsa itu, ada kaitan yang sangat erat dan penting.[3]
Mengenai definisi nasionalisme, banyak rumusan yang
dikemukakan diantaranya adalah:[4]
1.
Encyclopaedia Britannica:
Nasionalisme
merupakan keadaan jiwa, dimana individu merasa bahwa setiap orang memiliki
kesetiaan dalam keduniaan (sekuler) tertinggi kepada negara kebangsaan.[5]
2.
Huszer dan Stevenson:
Nasionalisme
adalah yang menentukan bangsa mempunyai rasa cinta secara alami kepada tanah
airnya. International Encyclopaedia of the Social Science[6]
3.
International Encyclopedia of the
Social Science:
Nasionalisme
adalah suatu ikatan politik yang mengikat kesatuan masyarakat modern dan
memberi pengabsahan terhadap klaim (tuntutan) kekuasaan. [7]
4.
L. Stoddard:
Nasionalisme
adalah suatu keadaan jiwa dan suatu kepercayaan, dianut oleh sejumlah besar
manusia perseorangan sehingga mereka membentuk suatu kebangsaan. Nasionalisme adalah
rasa kebersamaan segolongan sebagai suatu bangsa.[8]
5.
Hans Kohn:
Nasionalisme
menyatakan bahwa negara kebangsaan adalah cita-cita dan satu-satunya bentuk sah
dari organisasi politik, dan bahwa bangsa adalah sumber dari semua tenaga
kebudayaan kreatif dan kesejahteraan ekonomi.[9]
Nasionalisme menurut Hans Kohn adalah suatu paham yang berpendapat bahwa kesetiaan
tertinggi individu harus diserahkan kepada negara kebangsaan. Sebelum lahirnya
nasionalisme, kesetiaan orang tidak ditunjukan kepada negara bangsa tetapi
ditujukan kepada berbagai bentuk kekuasaan sosial, organisasi politik, raja,
kesatuan ideologi seperti suku, negara kota, kerajaan dinasti atau gereja.[10]
Sedangkan
Rupert Emerson mendefinisikan nasionalisme sebagai komunitas orang-orang yang
merasa bahwa mereka bersatu atas dasar elemen-elemen penting yang mendalam dari
warisan bersama dan bahwa mereka memiliki takdir bersama menuju masa depan.[11]
Dalam
pandangan Ernest Renan bangsa adalah kesatuan. Solidaritas yang digantungkan
atas kehendak warganya untuk secara bersama dalam identitas kolektif baru yang
melampaui garis-garis primodial sektarian. Renan mengemukakan bahwa bangsa
tidak disamakan dengan kesatuan manusia yang didasarkan atas kesamaan ras,
bahasa, agama, dan geografi.Sedangkan menurut Joseph Stalin bangsa merupakan
suatu komunitas yang terbentuk dari bahasa, wilayah, kehidupan ekonomi dan psikologis
yang stabil dan berkembang secara histories termanifesi dalam suatu komunitas
kebudayaan.[12]
Hal
yang sedikit berbeda dikemukakan oleh Sartono Kartodirjo. Menurutnya
nasionalisme adalah ideologi yang mencakup lima prinsip yaitu unity (kesatuan)
yang merupakan syarat yang tidak bias ditolak, liberty (kemerdekaan)
termasuk kemerdekaan untuk mengemukakan pendapat, equality (persamaan)
bagi setiap warga untuk mengembangkan kemampuannya masing-masing, personality
(kepribadian) yang terbentuk oleh pengalaman budaya dan sejarah bangsa, dan
performance dalam arti kualitas atau prestasi yang dibanggakan kepada bangsa
lain.[13]
Sedangkan
menurut Gellner nasionalisme adalah suatu perjuangan untuk membuat budaya dan
perpolitikan menjadi bersesuaian. Nasionalisme adalah pemaksaan umum suatu
tradisi besar kehidupan masyarakat. Hal itu sesungguhnya berawal dari tradisi
kecil yang sebelumnya telah mengangkat kehidupan mayoritas dan dalam beberapa
kasus keseluruhan penduduk.[14]
C.
Sejarah
Nasionalisme
Keberadaan
paham nasionalisme secara umum dapat dilihat pada sejarah nasionalisme Barat
(Eropa). Nasionalisme muncul dan berkembang di Barat sejak abad ke 15 Masehi.
Namun hal yang sama tidak dirasakan oleh Timur (Asia dan Afrika).[15]Nasionalisme
merupakan gejala modern, tetapi tidak ada kesepakatan mengenai darimana muncul
dan berkembangnya nasionalisme. Nasionalisme muncul pertama di Inggris pada
abad ke-17 ketika terjadi revolusi Purittan. Pada kesepakatan bahwa
nasionalisme berawal dari barat kemudian menyebar ke timur.[16]
Nasionalisme
Inggris inilah yang menjadi cikal bakal nasionalisme barat, karena Inggris
unggul dalam penemuan-penemuan ilmiah, perdagang dan dalam perkembangan
pemikiran serta aktivitas politik. Munculnya nasionalisme Amerika (1775) dan
revolusi perancis merupakan perkembangan lanjut dari nasionalisme Inggris.[17]
Berawal dari revolusi Amerika dan Eropa barat ini, nasionalisme kemudian
menjalar keberbagai penjuru dunia yaitu Eropa Tengah, Eropa Timur, hingga ke
Amerika Latin. Nasionalisme yang pada awalnya justru banyak mementingkan hak-hak
asasi manusia, dalam perkembangan selanjutnya nasionalisme dengan segera
menganggap kekuasaan kolektif dan persatuan menjadi jauh lebih penting daripada
kemerdekaan perseorangan.[18]
Nasionalisme
bangsa-bangsa di Eropa mengalami kejayaan pada periode abad ke 19 Masehi,
mereka bersatu dengan baik dari berbagai kelompok dan etnis. Bangsa-bangsa di
Eropa yang menjalin kesatuan karena nasionalisme ini akhirnya memasuki masa
imperialisme.[19]Sasaran
utama dari Imperialisme Barat adalah negeri-negeri yang masih terbelakang, yang
sifat kebangsaan penduduknya masih dipertanyakan. Negeri-negeri itu terutama
adalah negeri-negeri di Asia, dan Amerika Latin.[20] Secara
politik, sosial, dan ekonomi mereka mengambil alih kekuasaan atau menjajah
negara-negara lemah di Asia, Afrika, Timur Tengah, dan Amerika Latin.[21]Jika
sebelumnya nasionalisme Eropa lekat dengan liberalisme, lambat laun berubah
menjadi kekuatan-kekuatan kolonialis-imperialis yang ekspansif. Inggris dan
Prancis saling berlomba menaklukkan wilayah-wilayah di benua lain. Terjadi
persaingan antarkedua kekuatan kolonial ini di berbagai benua, terutama di Asia
dan Afrika.[22]
Beberapa
ciri dari nasionalisme barat dalam pandangan Soekarno adalah:[23]
Pertama,
nasionalisme
barat mengandung prinsip demokrasi yang berawal dari revolusi Prancis.
Kemenangan kaum borjuis pada Revolusi Prancis melahirkan demokrasi parlementer,
yang biasa juga disebut demokrasi liberal. Demokrasi semacam ini melahirkan
kapitalisme. Kehidupan ekonomi rakyat tidak terjamin, bahkan rakyat miskin
semakin tertindas dan semakin melarat.[24]
Kedua,
perkembangan
nasionalisme yang dijiwai oleh kapitalisme telah melahirkan imperialisme.
Munculnya imperialisme tersebut disebabkan adanya kebutuhan akan bahan mentah
dengan rasa kebangsaan yang agresif.[25]
Ketiga,
menurut
pendapat C.R. Das menggambarkan nasionalisme barat suatu nasionalisme yang
serang-menyerang, yang mengejar keperluan sendiri, suatu nasionalisme
perdagangan yag menhitung untung atau rugi.[26]
Keempat,
Fasisme
yang lahir di barat, yang biasanya disebut dengan nasionalisme-sosialisme
tidak berdiri diatas pokok kerakyatan,
tetapi ialah berdiri diatas pokok ketaatan pada seorang diktator. Tidak
bertanggung jawab kepada rakyat, tatapi orang-orang bawahan itulah yang
bertanggung jawab kepada diktator.[27]
Nasionalisme
Barat mengandung individualisme, liberalisme, dan melahirkan kapitalisme dan
imperialisme. Disamping itu nasionalisme barat mempunyai patriotisme sempit dan
ekstrim yang mengakibatkan munculnya konflik-konflik, permusuhan, dan
pertikaian antara nasionalisme-nasionalisme.[28]
Di
Asia, Afrika, dan Amerika Latin mulai disadari bahwa nasionalisme merupakan
suatu gerakan perjuangan rakyat yang modern dan berperan penting dalam
membangun suatu kekuatan bangsa melawan kolonialisme bangsa Eropa Barat,[29]
yang membangkitkan nasionalisme negeri-negeri Timur yang terjajah dengan sikap
yang sama yaitu keinginan untuk mencapai kemerdekaan dari penjajah,[30]
sekaligus dalam rangka mendirikan suatu negara dan pemerintahannya.[31]
Bangsa
Timur yang pertama kali bangkit dan berhasil dalam mengejar ketinggalannnya
dari Barat adalah Jepang, yang berusaha melengkapi alat peperangannya.
Kemenangan Jepang atas Rusia dalam tahun 1905, telah membuktikan kemungkinan
kemenangan bangsa Asia dengan menggunakan cara-cara, teknik, dan organisasi
barat atas negara militer Eropa yang besar.[32]
Kemenangan
itu membangunkan harapan-harapan baru, dan menggerakkan rakyat-rakyat bangsa
Timur dalam satu kesadaran diri baru, kesadaran nasional. Benih-benih
nasionalisme yang telah ada pada bangsa-bangsa Timur, dengan adanya kemenangan
itu, berubah sifat dari sesuatu yang evolusioner menjadi nasionalisme yang
revolusioner.[33]
Nasionalisme
di negara-negara Asia, Afrika, dan Amerika Latin merupakan lanjutan dari
perkembangan ide nasionalisme yang muncul pertama kalinya di barat.[34]
Tetapi nasionalisme timur tidak merupakan suatu jiplakan mutlak dari
nasionalisme barat. Akan tetapi, dalam kenyatannya nasionalisme timur yang
bangkit di negera-negara jajahan merupakan
reaksi yang sangat khas terhadap imperialisme dan kolonialisme.[35]
Perbedaan antara perkembangan nasionalisme barat dengan timur, adalah bahwa
perkembangan yang terjadi di Eropa di mulai dari gerakan kaum elite yang memunculkan kelompok kelas menengah. Akibatnya
adalah munculnya golongan yang merasa sebagai golongan yang tersingkir dari gerakan nasionalisme, terutama mereka
yang berasal dari golongan kelas bawah.[36]
Ada dua hal yang
melatarbelakangi munculnya nasionalisme. Pertama, adanya keinginan suatu
bangsa untuk melepaskan diri dari penjajahan. Keinginan ini muncul karena
adanya perasaan senasib, sepenanggungan dan sependeritaan di bawah penjajahan
bangsa lain.Kedua, rasa persatuan dan cinta tanah air tanpa menonjolkan
perbedaan yang ada dalam masyarakat. Lahirnya pergerakan Budi Utomo pada tahun
1908 dan peristiwa ikrar Sumpah Pemuda pada tahun 1928 merupakan akar dari
semangat perjuangan menuju gerbang kemerdekaan.[37]
Indonesia
menganut paham Nasionalisme Timur dan menolak prinsip-prinsip yang terkandung
dalam nasionalisme Barat, yang mana nasionalisme timur lebih bersifat
prikemanusiaan. Oleh karena itu, nasionalisme di Indonesia adalah nasionalisme
yang anti-imperialisme dan kolonialisme, anti-kapitalisme, prinsip-prinsip yang
terkandung dalam Nasionalisme Barat, dan yang sangat di kecam oleh Nasionalisme
Timur.[38]
Istilah
pergerakan nasional menunjukkan seluruh proses terjadi dan pertumbuhan
nasionalisme Indonesia yang berwujud sebagai organisasi-organisasi nasionalistis
yang berdasarkan kesadaran, perasaan, dan keinginan yang sama yaitu berjuang
bagi kemerdekaan rakyat di dalam satu lingkungan negara kesatuan.[39] Pemunculan gerakan muda Indonesia pada awal abad ke
20 bersamaan waktunya dengan pemunculan sekelompok orang Indonesia yang
mendapat prndidikan Barat.[40]
Nasionalisme
Indonesia muncul bersamaan dengan munculnya kesadaran akan adanya bangsa
sendiri yang ingin lepas dari penjajahan asing sehingga semangat nasionalisme
lahir dari semangat perlawanan terhadap penjajahan.[41]
Salah satu hal penting yang dilakukan di dalam periode Pergerakan Nasional ini
ialah munculnya pencarian identitas diri sebagai bangsa baru.[42]
Semangat
nasionalisme Indonesia sudah mulai terasa pada saat berdirinya organisasi Boedi
Oetomo pada tanggal 20 Mei 1908.Walaupun
organisasi ini pada awalnya didirikan oleh para pelajar dan mahasiswa Jawa dan
Madura tapi orang lainpun bisa masuk. Nama itu punya arti cendekiawan, watak
atau kebudayaan yang mulia. Boedi Oetomo menetapkan perhatiannya pada penduduk
Jawa dan Madura, dengan bahasa melayu sebagai bahasa resminya.
Organisasi ini mengilhami berdirinya banyak organisasi pemuda seperti Jong
Java, Jong Sumatera, Jong Celebes yang pada puncaknya mereka mengikrarkan
sumpah pemuda pada 28 Oktober 1928, berbangsa satu yaitu bangsa Indonesia dan
berbahasa satu bahasa Indonesia, walaupun sumpah pemuda bukan identik dengan
nasioanlisme tetapi merupakan kebersamaan dalam pluralitas yang sangat
dibutuhkan dalam usaha mengintegrasikan bangsa, yang berarti sejalan dengan
hakikat nasionalisme. [43]
Nama organisasi Boedi Oetomo berkaitan dengan hal
tingkah laku dan kebudayaan. Warga terdidik tercerahkan berbangsa Jawa tidak
segera melompat ke gerakan politik dengan tujuan untuk kemerdekaan, melainkan
untuk pembebasan. Tujuannya adalah untuk memberikan pendidikan kepada warga
anak-anak bangsa jawa. Dengan gerakan kebudayaan dan pendidikan itu, maka Boedi
Oetomo hendak membangun landasan yang kokoh bagi penyadaran diri dan pembebasan
itu.[44]
Setelah organisasi budi utomo di bentuk, pada tahun
1912 lahirlah organisasi yang bernama Sarekat Islam. Pada waktu mana juga telah
ditetapkan tujuannya, yaitu memajukan perdagangan, memberi pertolongan kepada
anggota-anggota yang mengalami kesukaran, memajukan kepentingan rohani dan
jasmani penduduk asli dan memajukan kehidupan Agama Islam.[45]Sarekat
islammerupakan gerakan yang tidak terbatas pada satu orientasi tujuan, tetapi mencakup
pelbagai bidang aktivitas, yaitu ekonomi, sosial, politik, dan kultural. Dalam
gerakan itu agama Islam berfungsi sebagai ideologi sehingga gerakan itu lebih merupakan
suatu revivalisme, yaitu kehidupan kembali kepercayaan dengan jiwa atau semangat
yang berkobar-kobar.[46]
Gerakan SI (Sarekat Islam) bertumpu pada ideologi agama
Islam, sehingga dengan mudah menghimbau rakyat dari pelbagai lapisan baik dari
kota maupun dari pedesaan. Oleh karena semangat keagamaan sering meluap-luap
sehingga gerakan SI merupakan gerakan total yang bernada kuat dalam keagamaan, maka
gerakan SI sering dipandang sebagai suatu revivalisme religius.[47]
Menegakkan moralitas agama, mengusahakan kesejahteraan rakyat, serta meningkatkan
kedudukan serta peranan sosial ekonominya, kesemuanya sekaligus berbarengan
dengan penggalangan kesadaran sosial rakyat. [48]
Kemudian dibentuk organisasi Indiche Partij yang di
pelopori E.F.E. Douwes Dekker.[49]
IP lahir pada tanggal 25 Desember 1912, tetapi tidak mendapat pengakuan dari
Belanda, sehingga statusnya adalah terlarang. IP yang didirikan oleh Douwes
Dekker itu menggariskan tujuannya ialah untuk membagunkan patriotisme terhadap
tanah air, yang telah memberi lapangan hidup kepada mereka, agar mereka
mendapat dorongan untuk bekerjasama atas dasar persamaan ketatanegaraan untuk
memajukan tanah air ‘Hindia’ dan untuk mempersiapkan kehidupan rakyat yang
merdeka.[50]
Menurut Hatta, Indische Partij adalah yang mula-mula
mencetuskan cita-cita tanah air dan bangsa. Meskipun demikian, karena statusnya
yang terlarang dan karena ketiga pemimpinnya (Douwis Dekker, Cipto
Mangunkusumo, dan Suryadi Suryadiningrat) pada bulan Agustus 1913 dijatuhi
hukuman buangan (mereka memilih ke negeri Belanda), maka partai itu tidak bisa
berbuat apa-apa.[51]
Pada 4 Juli 1927
Bung Karno mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI) yang merupakan wadah
nasionalisme modern yang radikal. Ideologi partai tersebut nasional radikal, yang dalam pandangan Bung Karno dianggap bahwa
kekuatanbangsa Indonesia terletak pada Nasionalisme, Islamisme dan Komunisme
(NASAKOM).[52]
Disamping organisasi-organisasi yang telah disebutkan
di atas masihbanyak lagi organisasi yang lain, ada yang bersifat lokal, ada yang
bersifat sosial, agama, pendidikan, dan lain-lain. Yang bersifat/berasas Islam misalnya
Jami’at Khair (lahir 1901), Muhammadiyah ( 1912, organisasi yang besar dengan
cabang dan sekolahnya yang banyak di seluruh tanah air), al- Irsyad (1914),
PERSIS (l923), NU (1926) meskipun tidak menjuruskan dirinya pada politik namun
peranan ulama-ulamanya atau pemimpinnya sangat besar untuk meningkatkan
kesadaran rakyatnya, bukan saja terhadap agamanya, tetapi juga terhadap hak-hak
dan kewajibannya untuk kemerdekaan tanah air.[53]
Demikianlah usaha-usaha yang telah dirintis sejak
semula telah membuahkan sumpah pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928.
Isinyamenyatakan: Berbangsa satu, Bangsa Indonesia; Berbahasa satu, Bahasa Indonesia;
Bertanah air satu, Tanah air Indonesia; satu tekad yang kompak yang akhirnya
setelah melalui pahit getirnya perjuangan menjelmakan kemerdekaan Indonesia
pada 17 Agustus 1945.[54]
D. Nasionalisme Perspektif Al-Qur’an dan Hadist
Hakekat yang terdalam dari Nasionalisme,
tidak lain dari kemauan untuk bersatu sebagai satu bangsa dalam arti politik.
Semakin besar jumlah individunya yang mau bersatu, semakin kuatlah persatuan
bangsa itu. Dengan ungkapan lain hakekatnya tidak lain dari keinsafan sebagai
suatu persekutuan yang tersusun menjadi satu, keinsafan yang terbit karena
percaya atas persamaan nasib dan tujuan. Keinsafan itu bertambah besar oleh
karena sama seperuntungan, malang yang sama diderita, mujur yang sama didapat,
oleh karena jasa bersama, kesengsaraan bersama, pendeknya oleh karena peringatan
kepada riwayat bersama yang tertanam dalam hati dan otak.
Kemauan untuk bersatu itu bisa mengendor dan bisa semakin kuat,tergantung
kepada berkurang atau bertambah kuatnya, perasaan senasib dan setujuan itu.[55]
Kemauan untuk bersatu itu mungkin saja mula-mula
dimiliki oleh sejumlah kecil individu, tetapi lambat laun, melalui propaganda,
pendidikan, dan lain-lain kemauan itu menjadi milik orang banyak. Faktor
kesatuan bahasa, satu agama, dan satu ras, dapat menjadi basis yang memperkuat
nasionalisme, tetapi bukanlah faktor yang mutlak harus ada. Kesatuan politik
yang didukung oleh faktor di atas niscaya kuat sekali persatuannya, tapi dalam
kenyataan dewasa ini mungkin tidak ada lagi suatu negara nasional dengan satu
agama, satu bahasa, dan satu ras.[56]
Dilihat dari sudut Islam, kemauan untuk bersatu dalam
kesatuan negara itu tidak ada salahnya. Islam mengakui bahwa Tuhan memang
menjadikan manusia itu berkelompok-kelompok, berkabilah, dan berbangsa-bangsa.
Tidak ada salahnya muncul unit-unit manusia (masyarakat) dari yang
sekecil-kecilnya sampai yang sebesar-besarnya: unit satu keluarga, satu desa,
seprovinsi, senegara, sebenua, dan seterusnya. Syaratnya selagi tidak untuk
bermusuh-musuhan atau menghalangi untuk saling berkenalan, berbuat baik atau
berbuat yang ma’ruf. Dasar pendirian ini dapat ditemukan dalam kitab al-Qur’an
Surat al-Hujurat ayat 13:[57]
Artinya : “Wahai
manusia, Kami menciptakanmu dari laki-laki dan perempuan, dan menjadikanmu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya, yang
paling mulia diantara kalian adalah yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui dan Maha Mengenal.” (Al-Hujurat:13).
Semangat nasionalisme merupakan semangat kelompok
manusia yang hendak membangun suatu bangsa yang mandiri, dilandasi satu jiwa
dan kesetiakawanan yang besar, mempunyai kehendak untuk bersatu dan terus menerus
ditingkatkan untuk bersatu, dan menciptakan keadilan dan kebersamaan.[58]
Nasionalisme yang cocok dengan Islam adalah
nasionalisme yang memupuk persahabatan dan kerjasama yang adil antar bangsa,
nasionalisme yang saling membantu untuk kebaikan, bukan untuk berbuat dosa dan
permusuhan. Tegasnya nasionalisme yang paling cocok dengan Islam adalah corak
nasionalisme yang tidak meletakkan loyalitas kepada tanah air di atas segala-galanya,
tetapi meletakkan loyalitasnya kepada Allah dan Rasul-Nya di atas dari
segalanya.[59]
Nasionalisme juga dijelaskan dalam Al-Quran surat
Al-Baqarah ayat 126 sebagai berikut:
Artinya:
Dan (ingatlah), ketika
Ibrahim berdoa: “Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini negeri yang aman, dan
berikanlah rezki kepada penduduknya dari (berbagai macam) buah-buahan, (yaitu
penduduknya) yang beriman di antara mereka kepada Allah dan
hari kemudian.” Allah berfirman: “Dan siapa yang kafir maka Aku beri kesenangan
sementara, kemudian Aku memaksanya menjalani siksa neraka dan itulah
seburuk-buruk tempat kembali“.[60]
Dan juga di jelaskan dalam surat Ibrahim ayat 35 sebagai berikut:
Artinya :
Dan (ingatlah),
ketika Ibrahim berdoa, “Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini (Mekah), negeri yang
aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku agar tidak menyembah berhala.[61]
Jadi
berdasarkan kedua ayat tersebut bahwasanya nasionalisme merupakan sikap yang
mempertahankan kedaulatan dan keamanan bangsa agar tidak ada terjadinya pertikaiann
yang merusak persatuan dalam suatu negara yang merdeka.
Cinta
tanah air yang merupakan pengertian sempit dari nasionalisme tidak bertentangan
dengan prinsip-prinsip agama, bahkan inklusif di dalam ajaran Al-Qur’an dan
praktek Nabi Muhammad SAW.[62]
Ketika
Rasulullah SAW berhijrah ke Madinah beliau shalat mengadap Bait Al-Maqdis. Tetapi,
setelah 16 bulan rupanya beliau rindu kepada Makkah dan Ka’bah, karena
merupakan kiblat leluhurnya dan kebanggan orang-orang Arab. Begitu tulis
Al-Qasimi dalam taksirannya. Wajah beliau berbolak-balik mengadah ke langit,
bermohon agar kiblat diarahkan ke Makkah, maka Allah merestaui keinginannya ini
dengan menurunkan firmannya:[63]
Artinya: “Sungguh kami (senang melihat
wajahmu menghadang ke langit, maka sungguh kami akan memalingkan kamu ke kiblat
yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah masjid Al-Qaram)(QS Al-Baqarah 2:
144).[64]
Cinta
beliau kepada tanah tumpah darahnya tampak pula ketika meninggalkan kota Makkah
dan berhijrah ke Madinah. Sambil menengok ke kota Makkah beliau berucap :
“Demi
Allah, sesungguhnya engkau adalah bumi Allah yang paling aku cintai, seandainya
bukan yang bertempat tinggal di sini mengusirku, niscaya aku tidak akan meninggalkannya.”[65]
Dan ketika Nabi Pertama sampai di Madinah beliau berdoa lebih
dahsyat:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اللَّهُمَّ حَبِّبْ إِلَيْنَا الْمَدِينَةَ كَحُبِّنَا
مَكَّةَ أَوْ أَشَدَّ اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِي صَاعِنَا وَفِي مُدِّنَا
وَصَحِّحْهَا لَنَا وَانْقُلْ حُمَّاهَا إِلَى الْجُحْفَةِ قَالَتْ وَقَدِمْنَا
الْمَدِينَةَ وَهِيَ أَوْبَأُ أَرْضِ اللَّهِ قَالَتْ فَكَانَ بُطْحَانُ يَجْرِي
نَجْلًا تَعْنِي مَاءً آجِنًا
“Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Ya Allah,
jadikanlah Madinah sebagai kota yang kami cintai sebagaimana kami mencintai
Makkah atau bahkan lebih dari itu. Ya Allah, berikanlah barakah kepada kami
dalam timbangan sha' dan mud kami sehatkanlah (makmurkan) Madinah buat kami dan
pindahkanlah wabah demamnya ke Juhfah". 'Aisyah radliallahu 'anha berkata;
Ketika kami tiba di Madinah, saat itu Madinah adalah bumi Allah yang paling
banyak wabah bencananya. Sambungnya lagi: "Lembah Bathhan mengalirkan air
keruh yang mengandung kuman-kuman penyakit". (HR al-Bukhari)[66]
Sahabat-sahabat Nabi Saw. pun demikian, sampai-sampai
Nabi Saw. bermohon kepada Allah:
“Wahai
Allah, cintakanlah kota Madinah kepada kami, sebagaimana engkau mencintakan kota
Makkah kepada kami, bahkan lebih (HR Bukhari, Malik dan Ahmad).”[67]
Memang, cinta kepada tanah tumpah darah merupakan
naluri manusia, dan karena itu pula Nabi Saw. menjadikan salah satu tolok ukur
kebahagiaan adalah "diperolehnya rezeki dari tanah tumpah darah".
Sungguh benar ungkapan, "hujan emas di negeri orang, hujan batu di negeri sendiri,
lebih senang di negeri sendiri."[68]
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ جَعْفَرٍ عَنْ حُمَيْدٍ
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا قَدِمَ مِنْ سَفَرٍ فَنَظَرَ إِلَى جُدُرَاتِ
الْمَدِينَةِ أَوْضَعَ رَاحِلَتَهُ وَإِنْ كَانَ عَلَى دَابَّةٍ حَرَّكَهَا مِنْ
حُبِّهَا
|
"Telah
menceritakan kepada kami Qutaibah telah menceritakan kepada kami Isma'il bin
Ja'far dari Humaid dari Anas radliallahu 'anhu berkata; Bahwa Nabi shallallahu
'alaihi wasallam apabila pulang dari bepergian dan melihat dataran tinggi kota
Madinah, Beliau mempercepat jalan unta Beliau dan bila menunggang hewan lain
Beliau memacunya karena kecintaannya (kepada Madinah)”(HR al-Bukhari).[69]
Bahkan Rasulullah SAW. mengatakan bahwa orang yang
gugur karena membela keluarga, mempertahankan harta, dan negeri sendiri dinilai
sebagai syahid sebagaimana yang gugur membela ajaran agama. Bahkan Al-Quran
menggandengkan pembelaan agama dan pembelaan negara dalam firman-Nya:[70]
Allah tidak melarang kamu berbuat baik, dan memberi sebagian
hartamu (berbuat adil) kepada orang yang tidak memerangi kamu karena agama, dan
tidak pula mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang
yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai
kawanmu orang-orang yang memerangi kamu karena agama, mengusir kamu dari
negerimu, dan membantu orang lain mengusirmu (QS Al-Mumtahanah [60]: 8-9).[71]
E.
PENUTUP
Nasionalisme menurut Sartono Kartodirjo, nasionalisme adalah ideologi
yang mencakup lima prinsip yaitu unity (kesatuan) yang merupakan syarat
yang tidak bias ditolak, liberty (kemerdekaan) termasuk kemerdekaan
untuk mengemukakan pendapat, equality (persamaan) bagi setiap warga
untuk mengembangkan kemampuannya masing-masing, personality (kepribadian)
yang terbentuk oleh pengalaman budaya dan sejarah bangsa, dan performance dalam
arti kualitas atau prestasi yang dibanggakan kepada bangsa lain.
Nasionalisme merupakan gejala modern, tetapi tidak ada kesepakatan
mengenai darimana muncul dan berkembangnya nasionalisme. Nasionalisme muncul
pertama di Inggris pada abad ke-17 ketika terjadi revolusi Purittan. Pada
kesepakatan bahwa nasionalisme berawal dari barat kemudian menyebar ke timur
sampai ke Indonesia.
Semangat nasionalisme Indonesia sudah mulai terasa pada saat berdirinya
organisasi Boedi Oetomo, kemudian diikuti oleh organisasi-organisasi yang
lainnya. Usaha-usaha yang telah dirintis sejak semula telah membuahkan Sumpah
Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928. Isinya menyatakan: Berbangsa satu, Bangsa
Indonesia; Berbahasa satu, Bahasa Indonesia; Bertanah air satu, Tanah air
Indonesia; satu tekad yang kompak yang akhirnya setelah melalui pahit getirnya
perjuangan menjelmakan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945.
Nasionalisme dari sudut pandang Islam mengakui bahwa Tuhan memang
menjadikan manusia itu berkelompok-kelompok, berkabilah, dan berbangsa-bangsa.
Tidak ada salahnya muncul unit-unit manusia (masyarakat) dari yang
sekecil-kecilnya sampai yang sebesar-besarnya: unit satu keluarga, satu desa,
seprovinsi, senegara, sebenua, dan seterusnya. Syaratnya selagi tidak untuk
bermusuh-musuhan atau menghalangi untuk saling berkenalan, berbuat baik atau
berbuat yang ma’ruf.
Nasionalisme yang cocok dengan Islam adalah nasionalisme yang memupuk
persahabatan dan kerjasama yang adil antar bangsa, nasionalisme yang saling
membantu untuk kebaikan, bukan untuk berbuat dosa dan permusuhan. Tegasnya
nasionalisme yang paling cocok dengan Islam adalah corak nasionalisme yang
tidak meletakkan loyalitas kepada tanah air di atas segala-galanya,
tetapi meletakkan loyalitasnya kepada Allah dan Rasul-Nya di atas dari
segalanya.
DAFTAR PUSTAKA
Yatim, Badri. 1999.Soekarno Islam
dan Nasionalisme. Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu.
Murod,Abdul
Choliq. Nasionalisme
Dalam Perspektif Islam. Jurnal Sejarah CITRA LEKHA, Vol. XVI, No. 2 Agustus 2011
Dault,Adhyaksa. 2005.Islam dan Nasionalisme: Reposisi Wacana Universal Dalam Konteks Nasional. Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar.
Mugiyono. 2016. Relasi
Nasionalisme dan Islam serta pengaruhnya terhadap kebangkitan dunia Islam
global. Palembang:
jurnal.radenfatah.ac.id.
Silaban,
Winner.Pemikiran
Soekarno Tentang Nasionalisme. Jurnal Dinamika
Politik, Vol.1, No.3, Desember 2012.
Kartodjo,Sartono.2013. Pengantar
Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional Dari Kolonialisme Sampai
Nasionalisme. Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama.
Hendrastomo,Grendi. Nasionalisme vs
Globalisasi “Hilangnya Semangat Kebangsaan dalam Peradaban Modern”. Jurnal
DIMENSIA, Volume 1, No 1, Maret 2007.
Naseh,Ahmad
Hanany.Nasionalisme Dalam Tinjauan Islam.
Jurnal Ulumuddin Volume 4, Nomor 2, Desember 2014.
Shihab,Quraish. 1996.Wawasan Al-Qur’an. Bandung:
Mizan.
Suryadinata, Leo. 2010.Etnis Tionghoa dan Nasionalisme Indonesia. Jakarta: PT Kompas Media
Nusantara.
Abdurrahman, Fadhil dkk. 2013. Al-Qur’an dan
Terjemahan Al-Hikmah. Bandung: Diponegoro.
Kitab 9 Imam.
[1]Badri Yatim, Soekarno, Islam
dan Nasionalisme (Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu, 1999), hlm. 57-58.
[2] Grendi Hendrastomo, Nasionalisme
vs Globalisasi “Hilangnya Semangat Kebangsaan dalam Peradaban Modern” Jurnal
DIMENSIA, Volume 1, No 1, Maret 2007, hlm 3
[3]Badri Yatim, Op.cit., hlm. 58.
[4]Ibid.,
[5] Ibid.,
[6]Ibid.,
[7]Ibid.,
[9]Ibid.,
[10]Abdul
Choliq Murod, Nasionalisme Dalam Perspektif Islam,Jurnal Sejarah
CITRA LEKHA, Vol. XVI, No. 2 Agustus 2011, hlm. 47
[11] Adhyaksa Dault, Islam dan
Nasionalisme: Reposisi Wacana Universal Dalam Konteks Nasional (Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar, 2005), hlm. 2.
[12]Abdul
Choliq Murod, Op.Cit.
[13]Ibid.,
[14]Ibid.,
[15] Mugiyono, Relasi Nasionalisme
dan Islam serta pengaruhnya terhadap kebangkitan dunia Islam global,
jurnal.radenfatah.ac.id (Palembang, 2016) hlm: 3.
[19] Mugiyono, Op.cit. hlm. 4
[20]Badri Yatim, Op.cit. hlm. 74
[22] Adhyaksa Dault, Op.cit., hlm. 6
[24]Ibid.,
[26]Ibid.,
[28]Ibid.,
[29] Adhyaksa Dault, Op.cit., hlm. 10
[30] Badri Yatim, Op.cit., hlm.79
[32] Badri Yatim, Op.cit., hlm.80
[33]Ibid.,
[36]Ibid.,
[37] Winner Silaban, Pemikiran
Soekarno Tentang Nasionalisme,
Jurnal Dinamika Politik, Vol.1, No.3, Desember 2012, hlm. 3-4
[38] Badri Yatim Op.Cit., hlm. 85
[39] Sartono Kartodjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah
Pergerakan Nasional Dari Kolonialisme Sampai Nasionalisme (Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 2013), hlm. 228.
[40]Leo
Suryadinata, Etnis Tionghoa dan
Nasionalisme Indonesia (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2010), hlm 150.
[42] Adhyaksa Dault, Op.Cit., hlm. 39.
[43]Abdul
Choliq Murod, Op.cit., hlm. 48
[44]Adhyaksa
Dault, Op.cit. hlm. 39-40.
[45]Ahmad Hanany Naseh, Nasionalisme Dalam Tinjauan Islam, Jurnal Ulumuddin Volume 4, Nomor
2, Desember 2014, hlm. 16.
[49]Badri
Yatim, Op.cit. hlm. 20.
[50]Ahmad Hanany Naseh, Op.cit., hlm. 17.
[53]Ahmad Hanany Naseh, Op.cit., hlm. 18.
[58]Adhyaksa
Dault, Op.cit. hlm. 3.
[60]Fadhil
Abdurrahman dkk, Al-Qur’an dan Terjemahan Al-Hikmah. QS Al-Baqarah 126 (Bandung:
Diponegoro, 2013) hlm. 19.
[62]Quraish Shihab, Wawasan
Al-Qur’an, (Bandung: Mizan 1996) hlm: 344
[64]Fadhil Abdurrahman dkk, Op.cit.,
QS Al-Baqarah 144, hlm. 22.
[66]Di
akses di Aplikasi Kitab 9 Imam.
[67]Quraish
Shihab, Op.cit. hlm. 345
[68]Ibid.,
[69]Kitab
9 Imam, Op.cit.
[70]Quraish
Shihab, Op.cit. hlm. 345.
[71]Fadhil
Abdurrahman dkk, Op.cit., QS
Al-Mutamimah 8-9, hlm. 550.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar