Senin, 27 Maret 2017

Hadis dan Historisitasnya (P-IPS C Semester Genap 2016/2017)




Hadis dan Historisitasnya

Nadia Nisa’ul Hikmah, Muhimmatun Alfiyah, dan Reviana Novianti
Mahasiswa Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Kelas C Angkatan 2015
Universitas Islam Mulana Malik Ibrahim Malang
e-mail : muhimmatun.alfiyah@gmail.com

Abstract
Sunnah according to the understanding of language is the road According to the snake by language is new, or it means "something that is talked and quoted both” .Hadith that something related to the Prophet Muhammad conjunction with the provisions of the law or not. Knowledge of the hadith of the importance to us that we should not assume that everything is there after death of the Prophet come into one's vision the bid’ah. So in this article about the hadith, sunnah and wide-ranged beseta historical and differences between the hadith, Sunnah, Atsar and Khabar. We will discusses the hadith and sunnah are deep order not teriadi upset unfamiliarity hadith and Sunnah there are differences among the hadith is something is theoretical Sunnah is a practical or on an act Khabar is Sesua sourced apart from the Prophet. Atsar a word in clerical sal and other dits will experience. Keywords: Sunnah, Hadith, Atsar, Khabar.

Abstrak
Sunnah menurut pengertian bahasa adalah jalan yang ditempuh baik terpuji atupun tidak.Hadits menurut bahasa adalah baru, atau berarti “sesuatu yang dibicarakan dan dinukil”.Menurut ulama Hadits membicarakan bahwa sesuatu yang berhubungan dengan Nabi Muhammad baik ada hubungannya dengan ketetapan hukum syaria maupun tidak.Pengetahuan tentang hadits sangat penting bagi kita agar kita tidak sembarang menganggap bahwa semuanya yang ada sesudah meninggalnya Nabi merupakan bid’ah. Maka dari dalam artikel ini mengenai hadits, sunnah, dan macam-macamnya beserta historisnya dan perbedaan antara Hadits, Sunnah, Atsar, dan Khabar. Kita akan membahas hadits dan sunnah secara mendalam agar tidak terjadi kesalahpahaman. Hadits dan sunnah terdapat perbedaan diantaranya: Hadits merupakan sesuatu yang bersifat teoritis. Sunnah bersifat praktis atau tentang suatu perbuatan.Khabar merupakan sesuatu yang bersumber selain dari Nabi. Atsar merupakan perkataan sahabat, tabi’in dan ulama’ salaf, dan lainnya.
Keywords :Sunnah, Hadits, Atsar, Khabar

A.    Pendahuluan
Rasulullah merupakan manusia yang sempurna (insanul kamil) atau pribadi pilihan Allah yang tidak saja perkataan, perbuatan, atau ketetapan beliau dapat dicontoh, akan tetapi semua prilaku dan perjalanan hidup beliau adalah pantas untuk dijadikan teladan utama. Rasulullah adalah figur sentral dan model terbaik (uswah hasanah) yang harus diteladani oleh setiap umat islam. Karena  itu dalam kerangka menjadikan nabi sebagai uswah hasanah ini, muhadditsin juga mengikuti segala perilaku Muhammad SAW, sejak sebelum beliau diangkat menjadi Nabi/ Rasul. Oleh karena itu ulama’ hadits berusaha meliputi sebanyak mungkin riwayat yang berkenaan dengan Rasulullah, tidak saja berkenaan dengan aspek hukum, akan tetapi juga menceritakan keadaan beliau, sifat-sifat dan kebiasaan, bahkan hingga gambaran dan performa fisik beliau sekalipun. Hadits mempunyai beberapa sinonim / muradhif menurut pakar ilmu hadits yaitu sunnah, khabar, atau atsar.
Keteladanan nabi ini tidak hanya berwujud dari perbuatannya saja, tetapi juga sifat dan karakternya yang diilustrasikan’aisyah sebagai “ al-quran Berjalan”. Oleh karena itu jika dilihat dari sisi itu ulama’ menjadikan sifat (fisik dan psikisnya).Dalam hal ini semua mnegacu kepada Nabi Muhammad SAW berupa perbuata, perkataan, keadaan, dan taqrir baik yang terjadi sesudah kenabian maupun sebelum kenabian.
Banyak ulama’ yang mengartikan bahwa sunnah, hadits, khabar, dan atsar adalah sinonim. Tetapi banyak pula yang beranggapan bahwa masih masing istilah tersebut terdapat perbedaan yang menjadi ciri khas masing-masing istilah. Maka dari itu, kami menelaah lebih dalam perbedaan sunnah, khabar, dan atsar. Dan akan kami kupas sejarah perkembangan Hadits dari masa-ke masa.


  1. Pengertian Hadis/Sunnah Menurut Para Ulama (Ahli Hadis, Ahli Ushul Fiqih, dan Ahli Fiqih) dan Macam-Macamnya (Qauli, Fi’li, Taqriri, dan Ahwali)

Menurut Ibn Manzhur, kata ‘Hadis’ berasal dari Bahasa Arab, yaitu al-Hadis, jamaknya al-Hadisan, al-Hadisan, dan al-hudtsan.[1]Secara etimologis, kata ini memiliki banyak arti, diantaranya al-jadid (yang baru) lawannya al- qadim (yang lama), dan al-khabar [2]yang berarti khabar atau berita.[3] Selain itu hadis juga berarti dekat yang belum lama terjadi, seperti perkataan  Hadisul ahdi bil islam (orang yang baru memeluk agama Islam).[4]
Secara termologis, para ulama merumuskan pengertian hadis secara berbeda-beda.Berbedaan tersebut disebabkan oleh objek tinjauan dan konsentrasi bidang keilmuan masing-masing ulama. Berikut ini pengertian hadis secara termologis menurut para ulama, yaitu:
1.    MenurutUlama Hadis (Muhandditsun)
كُلُّ ما أُثِرَعَنِ النَّبِثيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ قَوْلٍ أَوْفِعْلٍ أَوْتَقْرِيْرٍ أَوْصِفَةٍ أَوْ خُلُقِيَةٍ
Segala sesuatu yang diberitahukan dari Nabi SAW, baik berupa sabda, perbuatan, taqrir, sifat-sifat maupun hal ihwal Nabi.Yang dimaksud ikhwal adalah segala sifat maupun keadaan peribadi Nabi.[5]
Ulama Hadis dalam mendefinisikan hadis melihat Nabi sebagai manusia yang sempurna baik dari segi perkataan, perbuatan atau ketetapan beliau yang harusnya dicontoh oleh manusia, bukan hanya itu saja tetapi semua yang berhubungan Nabi bahkan perjalanan hidup Nabi pantas dijadikan teladan manusia.
2.    Menurut Ulama Usul Fiqh(Ushuliyyun)
كُلُّ ماَ صَدَرَعَنِ النَّبِثيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَيْرَ الْقُرْآنَ الْكَرِيْمِ مِنْ مِنْ قَوْلٍ أَوْفِعْلٍ أَوْتَقْرِيْرٍ مِمَّا يَصْلُحُ أَنْ يَكُوْنَ دَلِيْلً لِحُكْمٍ شَرْعِيٍّ 
Segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, selain Al Qur’an Al-Karim, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun taqrir Nabi yang bersangkut-paut dengan hukum Syara[6](syari’ah)[7].
Ulama Usul Fiqh mendefinisikan hadis berdasarkan objek tinjauan hukum, sehingga Hadis dikaitkan dengan hukum syara’.
3.    Menurut Ulama Fiqih(Fuqaha)
كُلُّ ماَ ثَبَتَ عَنِ النَّبِثيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَمْ يَكُنْ مِنْ بَا بِ الْفَرْضِ وَلاَ الْوَا جِبِ 
Segala sesuatu yang ditetapkan Nabi SAW yang tidak bersangkut-paut dengan masalah-masalah fardhu atau wajib.[8]
    Ulama Fiqih mendefinisikan hadis berdasarkan objek tinjauan ilmu fiqih, sehingga pengertian Hadis lebih mendekati pengertian sunnah.
    Perbedaan pandangan tersebut kemudian melahirkan dua macam pengertian hadis, yaitu hadis secara terbatas dan pengertian luas. Pengertian hadis secara terbatas, dikemukaan oleh Jumhur Al-Muhadditsin,[9] yaitu hadis adalah sesuatu yang dinisbatkan kepada Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, pertanyaan (taqrir) dan sebagainya, [10] sedangkan hadis secara luas dikatakan Muhammad Mahfudz At-Tirmidzi, adalah sesungguhnya hadis bukan hanya yang dimarfu’ kan kepada Nabi Muhammad SAW, melainkan dapat pula disebutkan pada yang mauquf (dinisbatkan pada perkataan dan sebagainya dari sahabat) dan maqthu’ (dinisbatkan pada perkataan dan sebagainya dari tabiin).[11]
Dalam kajian ilmu hadis, istilah hadis sering dikaitkan dengan istilah sunnah.Secara etimologis, sunnah memiliki beberapa arti; ‘jalan yang ditempuh’ (al-tharīqah al-maslūkah); ‘kesinambungan’ (al-dawām); ‘jalan yang baik’ (al-tharīqah al-mahmūdah); dan ‘jalan yang terus diulang-ulang, yang baik atau yang buruk’(al-tharīqah al-mu’tādah hasanah kānat am sayyi’ah). [12]

الَطَّرِيقَةُمَحْمُدَةًكَانَت أَوْمَذْمُوْمَةً
Jalan yang dilalui, baik terpuji maupun tercela.[13]
Adapun secara terminologis, sunnah juga didefinisikan secara beragam oleh para ulama. Berikut penjelasan hadis menurut beberapa ulama:
1.      Menurut Ulama Hadis,
Ulama Hadis beranggapan bahwa sunnah adalah sinonim dengan Hadis.[14] Dalam artian sunnah berartisegala yang berasal dari Nabi Muhammad SAW., baik perkataan berupa sabda, perbuatan, taqrir, sifat-sifat maupun hal ihwal Nabi.
2.      Menurut Ulama Usul Fikih,
Ulama usul fikih mengartikan sunnah secara lebih sempit.Sunnah hanya berkaitan dengan hal-hal yang berasal dari Nabi SAW., selain al- Qur’an, yang dapat dijadikan sebagai sumber hukum, baik berupa sabda, perbuatan, persetujuan, maupun penolakannya.[15]  Dalam artian sunnah merupakan segala sesuatu yang hanya berasal dari Nabi Muhammad SAW., yang dapat dijadikan sumber hukum setelah Al-Qur’an.
3.      Menurut Ulama Fikih,
Ulama fikih mendefinisikan sunnah dengan perspektif yang berbeda dari ushūliyyūn dan muhadditsūn. sunnah diartikan sebagai ‘sesuatu yang ditetapkan dari Nabi SAW., yang tidak termasuk dalam kategori wajib atau fardhu’. Perspektif ini muncul karena mereka memandang Nabi SAW., sebagai seorang yang menunjukkan perbuatan-perbuatannya yang berdasarkan hukum syariat.[16]
Macam-Macam Hadis Qauli, Fi’li, Taqriri, dan Ahwali
1.    Hadis Qauli
        Hadis qauli adalah segala bentuk perkataan atau ucapan yang disandarkan kepada Nabi SAW.Dengan  kata lain, hadis qauli adalah hadis berupa perkataan Nabi SAW., yang berisi berbagai tututan dan petunjuk Syara’, peristiwa, dan kisah, baik yang berkaitan dengan aspek akidah, syariat, maupun akhlak.[17]Dengan demikian hadis qauli menjadikan perkataan Nabi SAW., menjadi sumber hadis tersebut.
        Diantara contoh hadis qauli adalah hadis tentang kecaman Rasul kepada orang-orang yang mencoba memalsukan hadis-hadis yang berasal dari Rasulullah SAW.,
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَا لَ: قَا لَ رَسُوْلُ الَّلهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَليَتَبَوَّأْمَقْعَدَهُ مِنَالنَّارِّ (رواه مسلم)
     Dari Abu Hurairah r.a., Rasulullah SAW. bersabda, “Barang siapa sengaja berdustaatas diriku, hendaklah ia bersiap-siap menempati tempat tinggal di neraka.” (H.R. Muslim)[18]
2.    Hadis Fi’li
        Hadis fi’li adalah segala perbuatan yang disandarkan kepada Nabi SAW.Dalam hadis tersebut terdapat berita tentang perbuatan Nabi SAW.yang menjadi anutan perilaku para sahabat pada saat itu,  dan menjadi keharusan bagi semua umat Islam untuk mengikutinya.
        Hadis yang termasuk kategori ini di antaranya adalah hadis-hadis yang di dalamnyaterdapat kata-kata kanalyakunu atau ra’aitu/ra aina. Contohnya hadis berikut ini, 
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقْسِمُ بَيْنَ نِسائِهِ فَيَعْدِلُ وَيَقُوْلُ :اللّهُمَ هَذِهِ قِسْمَتِيْ ِفِيْمَا أَمْلِكُ فَلأَ تَلُمْنِنِيْ فِيْمَا تَمْلِكُ وَلاَأَمْلِكُ (رواه أبوداود و التر مذى و النساىى و ابن ماجه)
Dari ‘Aisyah,  Rasul SAW. membagi (nafkah dan giliranyaj antar istri-istrinya dengan adil.  Beliau bersabda, “Ya Allah!  Inilah pembagianku pada apa yang aku miliki.  Janganlah Engkau mencelaku dalam hal yang tidak aku miliki.”(HR.  Abu Daud,  At-Tirmidzi,  An-Nasa’i,  dan Ibn Majah).[19]
3.    Hadis Taqriri
        Hadis taqriri adalah hadis berupa ketetapan Nabi SAW terhadap apa yang datang atau dilakukan oleh para sahabatnya.  Nabi SAW.  membiarkan atau mendiamkan suatu perbuatan yang dilakukan oleh para sahabatnya,  tanpa memberikan penegasan,apakah beliau membenarkan atau mempermasalahkannya.  Sikap Nabi yang demikian itu dijadikan dasar oleh para sahabat sebagai dalil taqriri,  yang dapat dijadikan hujah atau mempunyai kekuatan hukum untuk menetapkan suatu kepastian Syara
        Di antara contoh hadis taqriri adalah sikap Rasul SAW.yang membiarkan para sahabat dalam menafsirkan sabdanya tentang shalat pada suatu peperangan,  yaitu,

لاَيُصَلِّيْنَّ اَحَدٌ الْعَصْرَ اِلاَّ فِيْ بَنِيْ قُرَيْضَةَ (رواه البخارى) 
Janganlah seorang pun shalat Ashar,  kecuali nanti di Bani Quraidhah. (H.R.  Al-Bukhari)
        Sebagian sahabat memahami larangan itu berdasarkan pada hakikat perintah tersebut sehingga mereka terlambat dalam melaksanakan shalat Ashar.Segolongan sahabat lainnya memahami perintah tersebut untuk segera menuju Bani Quraidhah dan serius dalam peperangan dan perjalanannya sehingga dapat shalat tepat pada waktunya.Sikap para sahabat ini dibiarkan oleh Nabi SAW.tanpa ada yang disalahkan atau diingkarinya.[20]
4.        Hadis Ahwali
            Hadis ahwali adalah hadis yang berupa hal ikhwal Nabi SAW. Hadis yang termasuk kategori ini adalah hadis-hadis yang menyangkut sifat-sifat dan kepribadian,  serta keadaan fisik Nabi SAW
        Sifat Nabi SAW diceritakan dalam hadis yang diriwayatknn oleh Annas bin Malik,  sebagai berikut, 
كَنَ رَسُوْلُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم أَحْسَنَ النَّاسِ خُلُقًا (متفق عليه)
               Rasul SAW., adalah orang yang paling mulia akhlaknya. (Mutafaqalaih) 
       Tentang keadaan fisik Nabi SAW,  dijelaskan dalam hadis, 
كَنَ رَسُوْلُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم أَحْسَنَ النَّاسِ وَجْهًا وَاَحْسَنَهُ خَلْقًا لَيْسَ بِا الطَّوِيْلِ الْبَائِنِ وَلاَبِاالْقَصِيْرِ (رواه البخارى)
               Rasul SAW adalah manusia yang sebaik-baiknya rupa dan tubuh.Keadaan fisiknya ridak tinggi dan tidak pendek.(H R.  Al-Bukkari)
       Pada hadis lainnya disebutkan bahwa Anas bin Malik berkata,
عَنْ أَنَسن رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَا لَ: مَا مَسِسْثُ حَرِيْرً وَلاَدِيْبَا جًا الْيَنَ مِنْ كَفِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم وَشَمِمْتُ رِيحًا قَطُّ أَوْعَرْفَا قَطُّ أطْيَبَ مِنْ رِيْحٍ أَوْعَرْفِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم (رواه البخارى)
       Dari Anas ra,  berkata,“Aku belum pernah memegang sutra murni dan sutra berwarna) sehalus telapak tangan Rasul SAW., juga belum pernah mencium wewangian seharum Rasulullah SAW”. (HR Bukhari).[21]

  1. Perbedaan Antara Hadits, Sunnah, Atsar, dan Khabar
Sebelum kita memperdalam pembahasan mengenai Hadits, terlebih dulu kita perlu mengetahui istilah-istilah yang digunakannya dalam pembahasan ini.Ada istilah-istilah yang digunakan dalam pembahasan Hadits, yaitu al-Hadits, as-Sunnah,  Atsar, dan Khabar.Agar tidak mengalami kesalahpahaman dalam memahami dan membedakan dantara istilah-istilah tersebut.
Hadits
Hadits secara bahasa (etimologi), berarti: khabar, jadid, dan qarib. Khabar artinya “berita”, misalnya, berita yang disampaikan oleh seseorang kepada orang lain. Jadid, artinya “baru” lawan dari qatim, yang berarti “lama”. Qorib, berarti “dekat” atau “belum lama terjadi”, seperti dalam kalimat: [22]
حديث في الاسلا مهو
“Dia orang baru/belum lama mengenal islam”
Dan secara istilah merupakan apa yang disandarkan kepada nabi Muhammad dari perkataannya, perbuatannya, atau taqrirnya. Menurut Alhafidz, hadits merupakan segala ucapan, perbuatan, dan keadaan Rasulullah Saw. Yang termasuk keadaan beliau adalah menyangkut sejarah kelahiran beliau, tempatnya, dan segala hal yang berkaitan dengan beliau, baik sebelum diangkat sebagai rasul maupun setelahnya.[23]
Sunnah
Assunnah menurut pengertian bahasa (Etimologi) berarti tradisi yang bisa dilakukan, atau jalan yang dilalui (al-toriqoh al-maslukah)baik  yang terpuji maupun ynag tercela.[24]Sunnah menurut bahasa artinya “jalan yang dilaui, baik atau buruk”. Arti lain ialah “jalan yang ditempuh kemudian dikuti orang lain” arti lain lagi adalah arah, peraturan, mode, atau tentang tindakan atau sikap atau sikap hidup.[25]
Sunnah merupakan suatu perbuatan Nabi yang terus menerus dilakukan dan ditiru oleh sahabat-sahabat Rasulullah sehingga menjadi tradisi disuatu masyarakat.
Khabar
Al-khabar berarti al-Naba’ (pemberitaan), yaitu berita yang disampaikan dari seseorang kepada orang lain. Dengan demikian al-Khabar lebih luas dari assunnah, karena tidak hanya bersumber dari Nabi Muhammad saja tetapi juga bersumber dari sahabat dan tabiin.[26]
Mayoritas ulama’ melihat hadits lebih khusus yang datang dari Nabi, sedangkan Khabar sesuatu yang datang darinya dan yang lain, termasuk berita-berita umat terdahulu, para nabi, dan lain-lain. Misalnya, nabi berkata:…, Nabi Isa berkata:…., Nabi Ibrahim berkata:…, dan lain-lain, termasuk khabar,bukan hadits. Bahkan pergaulan diantara sesama kita sering terjadi menanyakan Khabar.Apa khabar?Dengan demikian, khabar lebih umum dari pada hadits dan dapat dikatakan bahwa setiap hadits adalah khabar dan tidak sebaliknya, khabar tidak mesti hadits.[27]
Atsar
Sedangkan al-Atsar berarti bekas atau sisa sesuatu.[28]Para fuqaha’ memakai istilah atsar khusus diperuntukkan bagi perkataan sahabat tabiin dan ulama’ salaf.Tetapi jumhur ulama’ menyamakan atsar dengan al-hadits as-sunnah.Al Nawawi menyatakan bahwa ulama’ fiqih menyebut perkataan sahabat (hadits Mauquf) dengan atsar juga.[29]
Atsar adalah sesuatu yang disandarkan kepada Nabi, para sahabat, dan ulama’ salaf.Sesuatu yang disandarkan kepada nabi dinamakan Marfu’, para sahabat dinamakan mawquf.Sementara fuqaha’ Khurrasan membedakannya atsar adalah berita mawquf, sedangkan khabar adalah berita marfu’.[30]
Menurut para ahli fiqih, istilah atsar merupakan perkataan sahabat, tabi’in, dan ulama’ salaf. Sebagai contoh, perkataan Ubaidillah ibn Abdillah ibn Utbah ibn Masud (tabiin) sebagai berikut:
السُّنَّةُ اَنْ يُّكَبِّرَ اْلاِمَامُ الْفِطْرَ وَيَوْمَ اْلآَضْحى حِيْنَ يَجْلِسُ عَلَى اْلمِنْبَرِ قَبْلَ اْلخُطْبَةِ تِسْعَ تَكْبِرَاتٍ (رواه البيهقى
Artinya:
Menurut sunnah hendaknya imam bertakbir pada Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha sebanyak sembilan kali takbir ketika duduk diatas mimbar sebelum berkhutbah. (HR.Al-Baihaqi).[31]

Perbedaan
Mengenai pengertian istilah terminlogi as-Sunnah dan al-Hadits ini ada ulama’ yang membedakan keduanya dan ada pula yang yang menyamakan. Ulama’ yang membedakan pengertian keduanya adalah Ibnu Timiyah, menurutnya bahwa al-Hadits merupakan ucapan, perbuatan, maupun taqrir Nabi Muhammad sebatas beliau diangkat menjadi Nabi atau Rasul, sedangkan sunnah lebih dari itu, yakni sebelum dan sesudah diangkat menjadi Nabi atau Rasul. Sedangkan jumhur ulama’ menyamakan arti as-Sunnah dengan al-Hadits, hanya saja ulama’ Hadits banyak memakai istilah al-Hadits, sedangkan ulama’ ushul memakai istilah assunnah.Terlepas dari perbedaan pendapat tersebut, yang patut digaris bawahi adalah pemakaian kalimat “apa yang datang (dinukilkan) dari Rasulullah SAW”.Dalam definisi-definisi tersebut, kalimat itu mempunyai konsekuensi bahwa semua assunnah atau al-Hadits adalah shohih, karena datangnya dari Nabi SAW.Pada kenyataannya tidak demikian, yakni ada pula hadits hasan, dhoif, dan bahkan ada pula yang maudhu’ (palsu) yang semuanya itu dapat dijadikan sebagai al-Hadits dan as-Sunnah.[32]
Perbedaan dari sunnah dan hadits adalah jika sunnah merupakan suatu perbuatan yang dilakukan oleh Nabi, perkataan, dan taqrir Nabi. Kalau hadits adalah sebatas perkataannya saja.Berarti cangkupan Sunnah itu lebih luas dari cangkupan Hadits.Hal ini sesuai dengan perkataan Dr. Yusuf Musa, seorang guru besar pada Cairo University dalam bukunya: “sunnah ialah apa yang keluar dari Rasul, baik perkataan, atau perbuatan, ataupun taqrirnya. Sedangkan hadits ialah apa yang keluar dari Rasul berupa perkataan saja”.Dan juga perkataan Ibnul Al-Kamal “sunnah ialah sesuatu yang dinukil dari Nabi Muhammad Saw baik berupa perbuatan ataupun sabdahnya, sedangkan Hadits adalah khusus sabdahnya”. Persepsi Dr Taufiq dalam kitabnya menerangkan bahwa “Sunnah adalah suatu jalan yang dilakukan atau dipraktekkan oleh nabi secara continue dan diikuti para sahabat; sedangkan Hadits ialah ucapan ucapan nabi yang diriwayatkan oleh seseorang, dua, atau tiga orang perawi, dan tidak menggetahui ucapan-ucapan tersebut selain mereka sendiri”.

Rangkuman perbedaan Hadits, Sunnah, Khabar, Atsar

Macamnya
Sandaran
Asek dan spesifikasinya
Sifatnya
Hadits
Nabi
Perkataan (qشuli), perbuatan (fi’li), pesetujuan (taqriri)
Lebih khusus dan sekalipun dilakukan sekali
Sunnah
Nabi dan para sahabat
Perbuatan (fi’li)
Menjadi tradisi
Khabar
Nabi dan selainnya
Perkataan (qauli) dan perbuatan (fi’li)
Lebih umum
Atsar
Sahabat dan tabi’in
Perkataan (qauli) dan perbuatan (fi’li)
Umum

  1. Sejarah Singkat Hadis Nabi dari Masa ke Masa

Sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadits Nabi dapat diklasifikasi dalam beberapa periode, yaitu : (1) hadits pada masa Nabi; (2) hadits pada masa sahabat besar ( al-Khulafa’ al-Rasyidin); (3) hadits pada masa sahabat kecil dan tabi’in; (4) hadits pada masa kodifikasi; (5) hadits pada masa awal sampai akhir abad III H; (6) hadits pada abad IV sampai pertengahan abad VII (jatuhnya Baghdad tahun 656 H); dan (7) hadits pada masa pertengahan abad VII sampai sekarang.[33]
a.      Hadits pada Masa Nabi
Menurut ‘Ajjaj al-Khatib, bahwa munculnya hadits itu mengalami proses yang memiliki keterkaitan dengan beberapa hal, yang meliputi: Pertama, peristiwa tersebut terjadi di hadapan Nabi, yang kemudian Nabi menjelaskan hukumnya dan menyebarluaskan kepada kaum muslimin. Di antara contoh peristiwa dalam konteks ini adalah ketika Nabi melihat seorang laki-laki yang sedang berwudlu dan tidak membasuh punggung kakinya, lalu beliau menegur orang tersebut seraya berkata :”kembalilah dan perbaikilah wudlumu”.Kedua, peristiwa yang terjadi di kalangan umat Islam, yang kemudian ditanyakan kepada Rasulullah, baik kejadian yang menimpa pada diri orang itu secara langsung maupun peristiwa yang terjadi pada orang lain. Contohnya adalah pada kasus yang dialami ‘Ali ibn Abi Thalib, yang sering mengeluarkan cairan madzi, tetapi ia malu untuk menanyakan perihal tersebut kepada Rasulullah, sehingga ‘Ali kemudian memerintahkan Miqdad ibn Aswad untuk menanyakannya kepada Rasulullah, lalu beliau bersabda: “basuhlah dzakarmu dan berwudhu’lah”. Ketiga, kejadian-kejadian yang disaksikan sahabat, mengenai apa yang diperbuat oleh Rasulullah, kemudian sahabat tersebut menanyakannya dan selanjutnya Nabi menjelaskannya. Dalam konteks ini dapat dijadikan contoh mengenai seorang laki-laki yang datang kepada Rasulullah dan menanyakan kepada beliau tentang iman, islam dan ihsan, lalu Rasulullah menjawabnya, bahwa yang bertanya lebih tahu dari pada yang ditanya. Setelah laki-laki tersebut pergi, kemudian Nabi bertanya kepada Umar: “Hai ‘Umar, apakah engkau mengerti siapa yang bertanya kepadaku tadi, kemudian Umar berkata: “hanya Allah dan Rasulullah yang tahu”. Lalu Nabi memberitahukan bahwa seseorang yang tadi datang kepada beliau tersebut adalah Malaikat Jibril yang telah mengajari agama.[34]
Dalam menyampaikan hadits-haditsnya, Nabi menempuh beberapa cara, yaitu :
Pertama, melalui majlis ta’lim, yaitu pusat atau tempat pengajian yang diadakan oleh Nabi untuk membina para jama’ah.Melalui majlis ini para sahabat memperoleh banyak peluang untuk menerima hadits, sehingga mereka berusaha untuk selalu mengkonsentrasikan diri untuk mengikuti kegiatannya.Periwayatan hadits melalui majlis ini dilakukan secara reguler di mana para sahabat begitu antusias mengikuti kegiatan di majlis ini.Kedua, dlam banyak kesempatan Rasulullah juga menyampaikan haditsnya melalui para sahabat tertentu, yang kemudian oleh para sahabat tersebut disampaikannya kepada orang lain. Ketiga, untuk hal-hal sensitif, seperti yang berkaitan dengan soal keluarga atau kebutuhan biologis, terutama yang menyangkut hubungan suami istri, Nabi menyampaikan melalui istri-istrinya.Keempat, melalui ceramah atau pidato di tempat terbuka, seperti ketika futuhMekkah dan haji wada’.Kelima, melalui perbuatan langsung yang disaksikan oleh para sahabatnya, yaitu dengan jalan musyahadah, seperti yang berkaitan dengan praktik-praktik ibadah dan muamalah.Peristiwa-peristiwa yang terjadi pada Nabi lalu Nabi menjelaskan hukumnya dan berita itu tersebar di kalangan umat Islam.[35]

b.      Hadits pada Masa Sahabat Besar (al-Khulafa’ al-Rasyidin)
Setelah Nabi wafat, para sahabat tidak dapat mendengar sabda-sabda, menyaksikan perbuatan-perbuatan, dan hal ihwal Nabi secara langsung. Tindak tanduk Nabi, yang pada dasarnya bermuatan ajaran Ilahi, hanya dapat diketahui melalui informasi para sahabat Nabi, sebagai periwayat pertama yang menyampaikan hadis kepada umat muslim. Periwayatan hadis semenjak itu mengalami perkembangan dan melibatkan banyak pihak.Para sahabat tidak ada yang mendustakan Nabi.Mereka orang-orang yang rela mengorbankan jiwa dan raga demi menegakkan agama dan membantu dakwah Islam.Periwayatan hadis pada masa ke masa sahabat terutama masa al-Khulafa’ al-Rasyidin sejak tahun 11 H sampai 40 H, yang disebut juga masa sahabat besar, belum begitu berkembang.Pada satu sisi, perhatian para sahabat masih terfokus pada pemeliharaan dan penyebaran Al-Qur’an dan mereka berusaha membatasi periwayatan hadis tersebut. Masa ini disebut dengan masa pembatasan dan memperketat periwayatan (al tatsabbut wa al-iqlal min al-riwayah). Pada sisi yang lain, meskipun perhatian sahabat terpusat pada pemeliharaan dan penyebaran al-Qur’an, tidak berarti mereka tidak memegang hadis sebagaimana halnya yang mereka diterima secara utuh ketika Nabi masih hidup. Mereka sangat berhati-hati dan membatasi diri dalam meriwayatkan hadis itu.[36]
Para sahabat Nabi sangat kritis dan hati-hati dalam periwayatan hadis. Tradisi kritis di kalangan sahabat menunjukkan bahwa mereka sangat peduli tentang kebenaran dalam  periwayatan hadis : Pertama, para sahabat, sebagaimana dirintis oleh al-Khulafa’ al-Rasyidin, bersikap cermat dan hati-hati dalam menerima suatu riwayat. Ini dikarenakan meriwayatkan hadis Nabi merupakan hal penting, sebagai wujud kewajiban dan taat kepadanya.Berhubung tidak setiap periwayat menerima riwayat langsung dari Nabi, maka dibutuhkan perantara antara periwayat setelah sahabat, bahkan antara sahabat sendiri dengan Rasulullah SAW, karena tidak dimungkinkan pertemuan langsung dengannya.Kedua, para sahabat melakukan penelitian dengan cermat terhadap periwayat maupun isi riwayat itu sendiri.Ketiga, para sahabat, sebagaimana dipelopori Abu Bakar, mengharuskan adanya saksi dalam periwayatan hadis.Keempat, para sahabat, sebagaimana dipelopori oleh ‘Ali ibn Abi Thalib, meminta sumpah dari periwayat hadis.Kelima, para sahabat menerima riwayat dari satu orang yang terpercaya.Keenam, di antara para sahabat terjadi penerimaan dan periwayatan hadis tanpa pengecekan terlebih dahulu apakah benar dari Nabi atau perkataan orang lain dikarenakan mereka memiliki agama yang kuat sehingga tidak mungkin berdusta.[37]
Bukti hadis yang mereka buat antara lain hadis yang mendeskreditkan Muawiyah dan menyanjung ‘Ali beserta pengikutnya. Mereka juga membuat hadis-hadis palsu yang mencela para sahabat khususnya Abu Bakar, ‘Umar ibn al-Khathab, dan sahabat-sahabat lain. Kaum Syi’ah yang banyak membuat hadis palsu adalah kelompok al-Rafidhah yang menurut Ibn Taymiyah seperti dikutip ‘Ajjaj al-Khathib, pada masa ‘Ali berkuasa di Kufah sudah ada.Mereka beranggapan bahwa berdusta untuk kebaikan diperbolehkan. John Burton, seorang orientalis, menyatakan: “One of the leaders of the Shi’a was suspected of fabrication” (salah seorang pemimpin Syi’ah dicurigai membuat hadis palsu).[38]
c.       Hadis pada Masa Sahabat Kecil dan Tabi’in Besar
Pada masa ini, Al-qur’an sudah dikumpulkan dalam satu mushaf, sehingga tidak lagi mengkhawatirkan para sahabat. Pada masa ini daerah kekuasaan islam semakin luas. Banyak sahabat atau tabi’in yang pindah dari Madinah ke daerah-daerah yang baru dikuasai, di samping banyak pula yang masih tinggal di Madinah dan Mekkah.[39]
Faktor-faktor penyebab terjadinya kekeliruan pada masa setelah sahabat itu antara lain :
a.       Periwayat hadits sebagaimana manusia lain tidak terlepas dari unsur kekeliruan.
b.      Terbatasnya penulisan dan kodifikasi hadits.
c.       Terjadinya periwayatan secara makna yang dilakukan oleh sebagian besar sahabat dan tabi’in terbukti dengan adanya hadis atau kisah yang sama tetapi memiliki redaksi yang beragam.

Disamping kekeliruan hadits, pada masa ini sudah mulai banyak bermunculan hadits palsu. Menghadapi terjadinya kekeliruan dan pemalsuan hadits, para ulama melakukan beberapa langkah, yaitu :
a)      Melakukan seleksi dan koreksi oleh tentang nilai hadits atau para periwayatnya.
b)      Hanya menerima riwayat hadits dari periwayat yang tsiqah saja.
c)      Melakukan penyaringan terhadap hadis-hadis yang diriwayatkan oleh periwayat yang tsiqah.
d)     Mensyaratkan tidak adanya syadz yang berupa penyimpangan periwayat tsiqah terhadap periwayat lain yang lebih tsiqah.
e)      Untuk mengidentifikasi hadis palsu, mereka meneliti sanad dan rijal al-hadits dan bertanya kepada para sahabat yang pada saat itu masih hidup.[40]
d.      Hadits Pada Masa Kodifikasi
Pada ini terjadi kegiatan kodifikasi hadits. Kegiatan ini dimulai pada masa pemerintahan Islam dipimpin oleh khalifah ‘Umar ibn ‘Abd al-Aziz (99-101 H), melalui instruksinya kepada Abu Bakar bin Muhammad bin Amr bin Hazm dan para ulama Madinah agar memerhatikan dan mengumpulkan hadis dari para penghafalnya. Ada beberapa faktor yang melatarbelakangi kodifikasi hadis pada masa ‘Umar ibn Abd al-Aziz tersebut. Menurut al-Zafzaf, kodifikasi hadits tersebut dilakukan karena :
a.       Para ulama hadis telah tersebar ke berbagai negeri, dikhawatirkan hadis akan hilang bersama wafatnya mereka.
b.      Banyak cerita yang diada-adakan oleh pelaku bid’ah seperti Khawarij, Syi’ah dan lain-lain yang berupa hadits palsu.[41]
e.       Hadis pada Masa Awal Sampai Akhir Abad III H
Masa dikodifikasi dilanjutkan dengan masa seleksi hadis.Yang dimaksud dengan masa seleksi atau penyaringan di sini, ialah masa upaya para mudawwin hadis yang melakukan seleksi secara ketat, sebagai kelanjutan dari upaya para ulama sebelumnya yang telah berhasil melahirkan suatu kitab tadwin.Munculnya periode ini, sebagaimana telah dijelaskan, karena pada periode tadwin belum berhasil dipisahkan beberapa hadis yang berasal dari sahabat dan dari tabi’in dari hadis yang berasal dari Nabi.[42]
f.       Hadis pada Masa Abad IV Sampai Pertengahan Abad VII (Jatuhnya Baghdad Tahun 656 H)
Masa seleksi dilanjutkan dengan masa pengembangan dan penyempurnaan sistem penyusunan kitab-kitab hadis.Masa ini disebut dengan ‘ashr al tahdzib wa al-taqrib wa al-istidrak wa al-jam’i(masa pemeliharaan, penertiban, penambahan, dan pengampunan).Penyusunan pada masa ini lebih mengarah kepada usaha mengembangkan beberapa variasi pembukuan kitab-kitab yang sudah ada.[43]
g.      Hadis pada Masa Pertengahan Abad VII Sampai Sekarang
Masa ini disebut dengan : ‘ashr al-syarh wa al-jam’i wa al-takhrij wa al-bahts (masa pensyarahan, penghimpunan, pentakhrijan, dan pembahasan). Kegiatan ulama hadis pada masa ini berkenaan dengan upaya mensyarah kitab-kitab yang sudah ada, menghimpun dan mengumpulkan hadis-hadis dalam kitab-kitab yang sudah ada, mentakhrij hadis-hadis dalam kitab tertentu, dan membahas kandungan kitab-kitab hadis.Diantara usaha itu, misalnya, pengumpulan isi kitab yang enam, seperti yang dilakukan oleh ‘Abd al-Haq ibn Abd al-Rahman al-Asybili, al-Fayir, al-Zabadi, dan Ibn al-Atsir al-Jaziri.Juga penyusunan kitab-kitab hadis mengenai hukum, di antaranya oleh al-Daruquthni, al-Bayhaqi, Ibn Daqiq al-‘Id, Ibn Hajar al-Asqalani, dan Ibn Qudamah al-Maqdisi.[44]
Masa ini terbentang cukup panjang, dari mulai abad keempat Hijriah terus berlangsung beberapa abad berikutnya.Dengan demikian masa perkembangan ini melewati dua fase sejarah perkembangan Islam, yakni fase pertengahan dan fase modern.
  1. Penutup
Dari pembahasan tersebut dapat disimpulkan bahwa hadits merupakan perkataan, perbuatan, dan keadaan Nabi. Sunnah merupakan suatu perbuatan yang dilakukan Nabi yang berhukum selain wajib dan makruh. Terdapat pula macam-macam dari hadits ada 4 yaitu qauli, fi’li ahwali, dan taqriri.Sunnah, Hadits, Khabar, Atsar adalah kesatuan yang ada perbedaan. Hadits adalah sesuatu perkataan, perbuatan, dan persetujuan yang disandarkan kepada Nabi yang bersifat lebih khusus dan sekalipun dilakukan sekali. Sunnah adalah suatu perbuatan yang dilakukan Nabi yang disandarkan kepada Nabi dan para sahabat yang bisa menjadi suatu tradisi masyarakat.Khabar merupakan perkataan dan perbuatan dengan sandaran kepada Nabi dan selainnya yang bersifat lebih umum daripada Atsar.Atsar adalah suatu perkataan, perbuatan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad yang disandarkan kepada sahabat dan Tabi’in dan atsar merupakan sesuatu yang bersifat umum dibanding khabar.
Sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadits Nabi dapat diklasifikasi dalam beberapa periode, yaitu : (1) hadits pada masa Nabi; (2) hadits pada masa sahabat besar ( al-Khulafa’ al-Rasyidin); (3) hadits pada masa sahabat kecil dan tabi’in; (4) hadits pada masa kodifikasi; (5) hadits pada masa awal sampai akhir abad III H; (6) hadits pada abad IV sampai pertengahan abad VII (jatuhnya Baghdad tahun 656 H); dan (7) hadits pada masa pertengahan abad VII sampai sekarang

DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Rusydie. 2015.Pengantar Ulumul Qur’an dan Ulumul Hadits..Yogyakarta: IRCiSoD.
Idri.2010. Studi Hadits. Jakarta: Kencana.
Kolis, Nur.  2008.Pengantar Studi Alqur’an dan Al-Hadits.  Yogyakarta: Teras.
Majid, Khon, Abdul. 2013.Ulumul Hadits. Jakarta: Amzah.
Muhaimin, dkk. 2005. Study Islam dalam Ragam Dimensi dan Pendekatan. Jakarta: Prenandamedia Group.
Muhammad,Hasbi,Tengku ,Ash Shiddieqy. 1999.Ilmu Hadits,Semarang: PT Pustaka Rizki Putra .
Nirwana, D.2012.“Rekonsepsi Hadits dalam Wacana Studi Islam [Telaah Terminologis Hadits, Sunnah, Khabar, dan Atsar]”, Edu-Islamika.  T4. (02), 289-313.
Sholahudin, Agus dan Agus Suyadi. 2008.Ulumul Hadis.. Bandung: CV Pustaka Setia.
Sulaiman, M.Noor, Antologi Ilmu Hadits.2008. Jakarta: Gaung Persada Press.
Sumbulah, Umi, dkk. 2014. Studi Al-Qur’an dan Hadis. Malang: UIN-Maliki Press.
Wibawanto,Agung.(2009)Kebenaran Qur’an dan Hadits. Solo: PT Tiga Serangkai Pustaka,
Zuhri,  Muh., Hadits Nabi. 2003.Yogyakarta: PT Tiara Wacana.








[1]Agus Sholahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis (Bandung: CV Pustaka Setia, 2008),  Hlm. 13
[2]Ibid, hlm. 13; Dzikri Nirwana, “Rekonsepsi Hadits dalam Wacana Studi Islam [Telaah Terminologis Hadits, Sunnah, Khabar, dan Atsar]”, Edu-Islamika,Volume  T4. No. 02. September 2012,  hlm 291
[3]Agus Sholahudin dan Agus Suyadi,op.cit. hlm. 13
[4]Rusydie Anwar, Pengantar Ulumul Qur’an dan Ulumul Hadits (Yogyakarta: IRCiSoD, 2015), hlm. 236
[5]Agus Sholahudin dan Agus Suyadi , op. cit. hlm. 15
[6]Ibid, hlm. 16; Umi Sumbulah, dkk, Studi Al-Qur’an dan Hadis (Malang: UIN-Maliki Press, 2014), hlm. 16
[7]Umi Sumbulah, dkk, op.cit. hlm.16
[8]Agus Sholahudin dan Agus Suyadi, op.cit,hlm. 16
[9]Ibid.
[10]Ibid.
[11]Ibid. hlm.17
[12]Dzikri Nirwana. op. cit. hlm. 296
[13]Agus Sholahudin dan Agus Suyadi, op.cit.hlm. 17
[14]Dzikri Nirwana. op. cit. hlm. 297
[15]Ibid. hlm. 298
[16]Ibid.
[17]Ibid. hlm. 21
[18]Ibid. hlm 21-22
[19]Ibid. hlm. 22
[20]Ibid.hlm. 22-23
[21]Ibid.hlm. 24-25
[22] M.Noor Sulaiman, Antologi Ilmu Hadits (Jakarta: Gaung Persada Press,2008) hlm.1 ;Nur Kolis, Pengantar Studi Alqur’an dan Al-Hadits(Yogyakarta, Teras, 2008),hlm: 161; Muh. Zuhri, Hadits Nabi (Yogyakarta: PT Tiara Wacana, 2003), hlm.1; Rusydi Anwar, Pengantar Ulumul Qur’an dan Ulumul Hadits, (Yogyakarta, IRCiSoD, 2015), hlm. 236.
[23]Rusydie Anwar,op,cit., hlm. 236.
[24] Muhaimin, dkk, Study Islam dalam Ragam Dimensi dan Pendekatan(Jakarta: Prenandamedia Group, 2005), hlm. 124.
[25]Muh.Zuhri, op.cit. hlm:5: op,cit: Rusydie Anwar, hlm:237
[26]Muhaimin, Abdul Mujib,Jusuf Mudzakkir, hlm: 125, op.cit. ;Tengku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Ilmu Hadits, (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 1999), hlm. 14.
[27] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits, (Jakarta: Amzah, 2013),  hlm. 10.
[28]Rusydie Anwar. op,cit. hlm. 238.
[29]Ibid, hlm. 125.
[30]Abdul Majid Khon,op. cit., hlm. 11.
[31] Agung Wibawanto, Kebenaran Qur’an dan Hadits, (Solo: PT Tiga Serangkai Pustaka, 2009), hlm. 84.
[32]Muhaimin, dkk.op.cit. hlm: 11
[33]Idri, Studi Hadits, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 31.
[34] Umi Sumbulah, op.cit. hlm. 113-115.
[35]Idri, op. cit. hlm 32-35.
[36]Ibid., hlm. 38-39.
[37]Ibid., hlm. 41-42.
[38]Ibid., hlm 43.
[39]Idri, op.cit.hlm. 44.
[40]Ibid., hlm. 45-46.
[41]Ibid., hlm. 46-47.
[42]Ibid., hlm. 48.
[43]Ibid., hlm. 50.
[44]Ibid., hlm. 51-52.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar