Kamis, 24 November 2016

Pengaruh Fiqih dalam Materi Legislasi Hukum di Indonesia (PAI E Semester III)





PENGARUH FIQIH DALAM MATERI LEGISLASI HUKUM ISLAM DI INDONESIA

Nila Nafisatul Laili dan Rahma Rizki Larasati
PAI E UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

ABSTRAC

Talk about Islamic law is the law that comes from Allah and Rasulullah and fiqh itself was created to facilitate human understanding of the laws of Islam that has existed for a long time ago. This paper discusses what is fiqh, what is Islamic law, and national law as well as the influence of Islamic law between the system of law in Indonesia, also anything Legislation Of Islamic law in Indonesia. The Islamic law influential on the system of government in Indonesia, but not completely, because Indonesia also has a custom and also influences from western colonizers which is currently Indonesia Merdeka yet.
Keyword : fiqh, Islamic law, national law, legislation

A.     PENGERTIAN FIQIH, HUKUM ISLAM DAN LEGISLASI
Fiqih adalah paham atau pengertian, pemahaman tentang syari’at. Ilmu fiqih adalah ilmu yang berusaha memahami hokum-hukum yang terdapat di dalam Al-Qur’an dan sunnah Nabi Muhammad untuk diterapkan pada perbuatan manusia yang sehat akalnya yang berkewajiban melaksanakan hokum Islam. Hasil pemahaman tentang hokum islam itu disusun secara sistematis dalam kitab-kitab fiqih yang disebut hokum fiqih. Hukum fiqih, sebagaimana hukum yang diterapkan pada kasus tertentu dalam keadaan konkret, mungkin berubah dari masa ke masa dan mungkin pula berbeda dari satu tempat ke tempat lain. Ini sesuai dengan ketentuan yang disebut juga dengan kaidah hokum fiqih yang menyatakan bahwa perubahan tempat dan waktu menyebabkan perubahan hukum. Perubahan tempat dan waktu yang menyebabkan hokum itu, dalam sistem hukum Islam disebut illat (latar belakang yang menyebabkan ada atau tidak adanya hukum atas sesuatu hal). Dari kaidah ini dapat ditarik kesimpulan bahwa hukum fiqih itu cenderung relative, tidak absolute seperti hokum syari’at yang menjadi sumber hokum fiqih itu sendiri. Sifatnya zanni, yakni sementara belum dapat dibuktikan sebaliknya, ia cenderung dianggap benar. Sifat ini terdapat hasil karya manusia dalam bidang apapun juga.[1]
Hukum Islam adalah hokum yang bersifat universal karena ia merupakan bagian dari agama islam yang universal sifatnya. Sebagaimana halnya dengan agama islam yang universal sifatnya itu, hokum islam berlaku bagi orang islam dimanapun ia berada, apapun nasionalitasnya. Hukum nasional adalah hokum yang berlaku bagi bangsa tertentu di suatu negara nasional tertentu. Dalam kasus Indonesia, hokum nasional mungkin juga berarti hokum yang dibangun oleh bangsa Indonesia setelah Indonesia merdeka dan berlaku bagi penduduk Indonesia, terutama warga Negara Republik Indonesia, sebagai pengganti hukum kolonial dahulu.[2]
Legislasi dalam arti sempit merupakan proses dan produk pembuatan undang-undang (the creation of general legal norm by special organ), dan regulasi (regulations or ordinances). Legislasi dalam arti luas termasuk pula pembentukan Peraturan Pemerintah dan peraturan-peraturan lain yang mendapat delegasian kewenangan dari undang-undang (delegation of rule making power by the laws).  Dalam proses legislasi pembentukan undang-undang (legislative act, parliament act, Act of Parliament)  melibatkan badan perwakilan. Fungsi legislasi dilakukan oleh badan legislatif baik secara sendiri-sendiri atau “together with the head of State). Dalam Bahasa Arab secara etimologis, kata taqnin (تقنين) merupakan bentuk masdar dari qannana (قَنَّنَ), yang berarti membentuk undang-undang. Ada yang berpendapat kata ini merupakan serapan dari Bahasa Romawi, canon. Namun ada juga yang berpendapat, kata ini berasal dari Bahasa Persia. Seakar dengan taqnin adalah kata qanun (قَانُوْن) yang berarti ukuran segala sesuatu, dan juga berarti jalan atau cara (thariqah).[3]
Agama memiliki peran dalam sistem hukum. Di negara-negara di mana Islam berpengaruh kuat, hukumnya juga akan banyak dipengaruhi oleh hukum Islam. Semula, di dunia Islam, banyak persesuaian antara syar’ (شرع) dan qanun (قانون). Ketegangan antara keduanya muncul akibat pengaruh Barat melalui kolonialismenya, yang mengakibatkan penggantian hukum di berbagai negara Muslim dengan hukum Eropa. Ketika masyarakat muslim berkesempatan membina hukumnya sendiri, mereka kembali menjadikan hukum Islam sebagai sumber penting legislasi.

B.     PENGARUH HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM DI INDONESIA
Dalam membicarakan Hukum Islam di Indonesia, pusat perhatian akan ditujukan pada kedudukan hokum islam dalam sistem hokum di Indonesia. Yang dimaksud Dengan sistem hokum Indonesia adalah sistem hokum yang berlaku di Indonesia. Sistem Indonesia adalah sistem hokum yang majemuk, karena di tanah air kita berlaku berbagai sistem yakni Adat, Islam dan Barat. Ketiga sistem itu mulai berlaku di Indonesia pada waktu yang berlainan. Hukum adat telah lama ada dan berlaku di Indonesia, walaupun sebagai sistem hokum baru dikenal pada permulaan abad ke-20.
            Perlu dicatat bahwa pendapat Mahadi yang mengatakan bahwa dalam melaksanakan pasal 37 Undang-Undang Perkawinan, dapat didalilkan bahwa Pengadilan Agama adakalanya dapat mempergunakan hokum adat sebagai dasar untuk mengambil suatu keputusan. Namun yang dipergunakan bukanlah hokum adat yang bertentangan dengan hokum islam. Ini sesuai dengan uraian di atas mengenai sumber hokum islam mengatakan bahwa adat yang baik dapat dijadikan sebagai salah satu sarana atau cara pembentukan hokum islam. Artinya adat yang baik dapat dipandang sebagai hokum Islam.[4]
Dalam proses pembentukan ilmu fiqh, fiqh ini menjadi bahan bagi pembentukan sebagai pembentukan berbagai peraturan baik perundang-undangan, peratutan pemerintah, bahkan peraturan-peraturan daerah.
Bagi The Muslim Country (Negara Muslim) atau negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam seperti Indonesia dan Mesir, Politik hukum negara yang bersangkutan menjadi sangat penting. Untuk  kasus Indonesia misalnya, peluang pen-taqnin-an ini menjadi terbuka setelah dalam  Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dinyatakan bahwa bahan di dalam pembentukan hokum nasional adalah : hokum Adat, hokum Barat, dan hokum Islam.
Hubungan pen-taqnin-an dan fiqh seperti digambarkan diatas, sangat erat dengan meminjam kata-kata Musthafa’ Ahmad Zarqa yang kemudian dijadikan judul bukunya yaitu : Al-fiqh al-Islamy Fi Tsauwihial al-Jadid.(“Fiqh Islam  di dalam Bajunya yang Baru”) artinya : materi tetap materi-materi yang dibahas parat ulama’ yang lalu, hanya cara bahasan teorinya-teori dan penyusunan materi serta pengkodifikasiannya disesuaikan dengan cara-cara ilmu hokum yang berlaku. Subtansinya tetap, subtansi ilmu fiqh, penampilannya yang berbeda.
Dalam pen­-taqnin-­an ini, ijtihad yang dilakukan pada umumnya adalah Ijtihad fi Tatbiq al-Ahkam (ijtihad di dalam penerapan hukum) dengan menggunakan metode Ijtihad Jama’i (Ijtihad Kolektif); prosesnya adalah dengan menghadirkan para pakar di bidang ilmu-ilmu yang berhubungan dengan materi yang dibahas, untuk memberikan pertimbangan keadaan yang sesungguhnya dan dihadiri pula oleh para ahli agama, khususnya ahli hokum islam, untuk memberikan pertimbangan hukumnya (al-Hukm qabla bayan dhulmun, wa tark al-hukm ba’da bayan dhulman). Dengan cara ini diharapkan hasil ijtihadnya lebih benar, lebih baik dan indah serta lebih arif untuk kemaslahatan hidup bersama.
Akhirnya bisa dinyatakan bahwa dengan pen-taqnin-an ini, ilmu fiqh ini sedang mengalami fase perubahan; perubahan dengan tidak meninggalkan jati dirinya yang tercermin di dalam dalil-dalil kauli, kaidah-kaidah kuliyah, maqasihid al-syari’ah dan semanangat ajara yang adil, memberi rahmat, maslahat dan mengandung makna bagi kehidupan: atau dengan ungkapan lain: al Muhafadlah ‘ala al-Qadim al-Shahih wa al-Akhdz bi al-Jadid al-Aslah (“Mempertahankan yang lama yang maslahat dan mengambil yang baru yang lebih maslahat”).[5]

C.      BIDANG-BIDANG PENTAQNINAN[6]
1.     Al-Ahwal Al-Syakhsiyah (Hukum Keluarga)
Di Indonesia dengan keluarnya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik, Mendorong kebutuhan untuk pen-taqnin-an di dalam hokum keluarga, di tambah dengan keluarnya Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang peradilan Agama yang di dalam Bab III Pasal 49 Undang-undang tersebut dinyatakan:
Pengadilan agama bertugas dan berwewenang memeriksa, memutuskan dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: a. Perkawinan, b. Kewarisan, wasiat dan hibah yang dilakukan berdasarkan hokum islam, c. Wakaf dan Sedekah”
Kenyataan di lapangan, hokum Islam yang di terapkan di lingkungan peradilan agama yang menuju kepada kitab-kitab fiqh terdapat banyak perbedaan pendapat di kalangan ulama’, untuk mengatasi hal ini diperlukan adanya satu buku-buku hokum yang menghimpun semua hokum terapan yang berlaku bagi lingkungan peradilan agama yang dapat dijadikan pedoman oleh para hakim dalam melaksanakan tugasnya, sehingga terjamin adanya kesatuan dan kepastian hokum.[7]
Dari sudut lingkup makna the ideal law, kehadiran kompilasi Hukum Islam (KHI) merupakan rangkaian sejarah hokum nasional yang dapat mengungkapkan ragam makna kehidupan masyarakat Islam Indonesia, terutama tentang: (1) adanya norma hokum yang hidup dan ikut serta bahkan mengatur interaksi sosial, (2) aktualnya dimensi normatif akibat terjadnya eksplanasi fungsional ajaran islam yang mendorong terpenuhinya tuntutan kebutuhan hokum (3) response structural yang dini melahirkan rangsangan KHI, dan (4) alim ulama’ Indonesia mengantisipasi ketiga hal di atas dengan kesepakatan bahwa KHI adalah rumusan tertulis hokum Islam yang hidup seiring dengan kondisi hokum dan masyarakat Indonesia.[8]
Rancangan Kompilasi Hukum Islam yang terdiri dari tiga buku yaitu buku I tentang Hukum Perkawinan, buku II tentang Hukum Kewarisan, dan buku III tentang Hukum Perwakafan, selaras dengan wewenang utama Peradilan Agama, yang diterima baik oleh para ulama’ dan sarjana Hukum Islam seluruh Indonesia dalam lokakarya yang diselenggarakan di Jakarta tanggal 2 sampai dengan 5 Februari 1988, melalui Intruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991 telah ditentukan sebagai pedoman bagi instansi pemerintah dan masyarakat yang memerlukannya dalam menyelesaikan masalah-masalah di ketiga bidang hokum tersebut.
Kompilasi Hukum Islam, yakni kumpulan atau himpunan kaidah-kaidah hokum islam yang disusun secara sistematis tersebut terdiri dari tiga buku. Masing-masing buku dibagi ke dalam beberapa bab dan pasal, dengan sistematika sebagai berikut:[9]
Buku I : Hukum Perkawinan terdiri dari 19 bab dengan 170 pasal ( 1 - 170)
Buku II: Hukum Kewarisan terdiri dari 6 bab dengan 44 pasal (171 - 214)
Buku III: Hukum Perwakafan terdiri dari 5 bab dengan 14 pasal (215 - 228)

2.     Pentaqninan di Bidang Mu’amalah
Pen-taqnin-an di Bidang Muamalah dalam arti sempit dimulai sejak dikeluarkannya Majalah Al-Ahkam al-Adliyah pada zaman kekhalifahan Turki Usmani, yang dimulai pada tahun 1869 dan selesai tahun 1876. Majalah al-Ahkam ini terdiri dari 16 buku dengan 1851 pasal, yang dimulai dengan 99 kaidah fiqh yaitu dari mulai pasal 2  sampai dengan pasal 100.
Kemudian bahasan-bahasannya tentang a). Kepemilikan benda akad seperti jual beli (al-ba’i), tanggungan (al-kafalah), perpindahan utang (al-hiwalah), gadai (al-rahn), hak membeli kembali (ba’I al wafa), titipan (wadi’ah), pinjaman (I’arah), pemberian (hibah), pembagian harta campuran (qismah), kerja sama (syirkah), kerja sama modal usaha (mudlarabah), investasi dalam pertanian (muzara’ah), dan musaqah perwakilan (wakalah), perdamaian (al-sulhu), perwasitan dalam memutus perkara (al-tahkim), pinjaman yang sekali pakai (al-qard), kesepakatan dalam penghapusan akad (al-iqalah). Subyek hokum baik individu manusia maupun subyek hokum yang berupa badan hokum.
Satu hal baru lagi di bidang fiqh muamalah adalah munculnya lembaga-lembaga ekonomi baru di dunia islam, diantaranya yang paling penting, karena perannya di bidang keuangan adalah Perbankan Syari’ah. Di Indonesia baru tahun 1992 didirikan Bank Muamalah Indonesia, dan kemudian bermunculan Bank Syari’ah lain di Indonesia seperti Bank Syari’ah Mandiri, BNI Syari’ah, BRI Syari’ah, Bank Danamon Syari’ah, Bank JFJ Syari’ah, Bank Bukopin Syari’ah.
Dalam islam landasan filosofinya : keseimbangan kehidupan antara materi dan spiritual antara dunia dan akhirat dengan landasan akidah. Dan bertujuan untuk kesejahteraan baik individu maupun masyarakat yang ddiiwai dengan nilai-nilai keadilan, kerahmatandan kemaslahatan, diniati dengan ibadah menuju keridloan Allah SWT. Di dlam Maqasid al-Syari’ah hal ini terkait dengan hifdh al-mal dan hifdh al-ummah, dalam artinya yang paling luas.
Kemudian Perbankan Syari’ah dipertegas lagi dalam Undang-Undang No. 10 tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-undang No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan. Di dalam undang-undang No. 10 tahun 1998 ini dalam pasal 6 (m) disebutkan: “Menyediakan pembiayaan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia”.
Di dalam pasal 1 ayat 33 disebut pula tentang mudharabah, musyarakah, murabahah, ijariah, wa iqtina. Pada pasal 1 (1) dan passal 1 (m) disebutkan tentang Dewan Syari’ah Nasional dan Dewan Pengawas Syari’ah yang ditempatkan pada Bank yang melakukan kegiatan usaha Syari’ah.
Setelah keluar Undang-undang No. 10 tahun 1998 tentang Perbankan ternyata perkembangan cukup pesat, baik dalam jaringan perbankan syariah maupun dalam jumlah aset danpembiayaan. Dari tahun 1992 dengan jumlah kantor bank baru ada 1, sampai tahun 2003 dengan jumlah kantor bank menjadi 255. Dan jumlah asset pada tahun 200 sekitar 2 Triliun, sedang pada tahun 2003 menjadi 5 Triliun.[10]
3.     Pentaqnian di Bidang Siyasah
Di sini akan diperkenalkan pen-taqnin-an di Bidang Siyasah Dusturiyah, yaitu yang berhubungan dengan Undang-undang Dasar suatu negara.
Memnag Al-Qur’an sudah tertulis, kitab-kitab hadits tertulis, hasil ijtihad sudah tertulis pula di dalam ribuan kitab fiqh, akan tetapi untuk membuat konstitusi yang tertulis (written constitution) tidak mudah, ada beberapa kesulitan yang harus dihadapi, kesulitan-kesulitan tersebut antara lain:
1.      Aspek peristilahan: sesungguhnya banyak istilah-istilah yang erat kaitannya dengan Undang-undang Dasar (konstitusi), akan tetapi istilah-istilah tersebut asing di kalangan kaum muslimin umumnya, seperti istilah Malik, Sulthon, Hukum (pemerintah), Amir,Wilayah, meskipun istilah itu sudah jadi bahasa Indonesia, akan tetapi sering memiliki pengertian yang berbeda.
2.      Di dalam kitab-kitab fiqh yang lama jarang ditemukanbahasan khusus dalam satu bab atau pasal tertentu tentang konstitusi. Dengan pengecualian beberapa ulama dahulu membagi bab-bab kitab fiqh kepada: ibadah munahakat, muamalat,dan jinayah, bidang dusturiyah hanya disinggung sedikit-sedikit di dalam kitab: al-qadla, siyar,hudud, selain itu istilah-istilah yang mereka gunakan juga tidak seragam, sering berbeda antara seorang ulama’ dengan ulama’ lainnya. Baru dikalangan ulama-ulama sekarang menggunakan istilah dustur untuk Undang-Undang Dasar, tidak mustahil kata Undang-Undang Dasar (bahasa Indonesia) berasal dari kata dustur itu.
3.      Aspek pendidikan: banyak para ahli di Bidang Al-Qur’an, Hadits, fiqh tapi kurang memahami kenyataanperkembangan ilmu di dunia luar. Untuk hal ini, maka disamping perbandingan madzhab maka penting pula perbandingan hokum untuk dipelajari.
Di Indonesia sendiri tidak menjadikan Islam sebagai sebagai agama resmi negara atau agama kepala negara, tapi di dalam Pancasila, sila pertamanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Seperti diketahui dalam sejarah pembentukan UUD 1945, Ketuhanan Yang Maha Esa asalnya, di dalam Piagam Jakarta 22 Juni 1945 berbunyi: Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Tujuh kata terakhir dianggap diskriminatif oleh wakil-wakil Protestan dan Katolik, akhirnya diganti dengan: Ketuhanan Yang Maha Esa.
Selain itu di dalam bab XI pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan bahwa:
1.      Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
2.      Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaan itu.[11]

4.     Pentaqninan di Bidang Qadla
Pada masa sekarang negara di Dunia Islam telah memiliki lembaga-lembaga peradilannya masing-masing, meskipun di dalam proses pembentukan lembaga peradilan, khususnya pembentukan peradilan agama, masing-masing negara memiliki pengalamannya sendiri-sendiri yang seringkali tidah mudah. Hal ini sangat tergantung pada kondisi sosial politik di negara masing-masing.
Sebagai contoh kasus di Indonesia, meskipun telah keluar Undang-Undang No.14 Tahun kekuasaan kehakiman yang di dalam Pasal 10 ayat 1 dinyatakan: “bahwa kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh peradilan umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, Peradilan Tata Usaha Negara”. Setelah 18 tahun lebih, baru keluar Undang-Undang Republik Indonesia No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Di Indonesia MUI telah menandatangani pendirian Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (sebagai Yayasan) pada tanggal 21 Oktober 1993, kemudian dengan SK No.09/MUI/XII/2003 tanggal 30 Syawal 1424 H/24 Desember 2003 M. telah menetapkan:
1.      Mengubah nama Badan Arbitrase Muamalah Indonesia (BAMUI) menjadi Badan Arbitrase Syari’ah Nasional (BASYARNAS)
2.      Mengubah bentuk badan hokum BAMUI dari Yayasan manjadi badan yang berada di bawah MUI dan merupakan perangkat organisasi MUI
3.      Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai lembaga hokum Badan Arbitrase Syariah Nasional bersifat otonom dan independen.
Kedudukan arbitrase sebagai cara penyelesaian sengketa perdata Indonesia, diperjelas dan dipertegas dengan keluarnya Undang-Undang No. 30 Tahun1999 tentang arbitrase dan alternative penyelesaian sengketa, tanggal 12 Agustus 1999. Di dalam pasal 5 aat 1 disebutkan: “sengketa yang dapat diselesaikan di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hokum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa. Di dalam penjelasan atas Undang-undang No. 30 tahun 1999 ini, disebutkan bahwa pada umumnya lembaga arbitrase mempunyai kelebihan disbanding dengan lembaga peradilan [12]

5.     Pentaqninan di Bidang Jinayah
Hukum pidana Islam, hanya bisa diterapkan untuk: Pertama: kaidah-kaidah dan asas-asasnya yang memiliki sifat universal, Kedua: kejahatan-kejahatan ta’zir (selain hudud dan diyat). Karena sanksi ta’zir diserahkan berat ringannya kepada ulil amri, dalam hal ini lembaga legislative asal memiliki daya preventif dan daya represif (istilah para uulama al-ra’ddlu wa al jazru). Kejahatan ta’zir ini paling banyak jumlahnya disbanding hudud dan qisas diyat, sanksi di dalam ta’zir terbentang antara sanksi percobaan sampai hokum mati.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana berasal dari Wedboek Van Strafrecht Voor Indonesia (Staatsblad 1915:732) yang berlaku pada zaman penjajahan Belanda. Ada keinginan untuk menyusun kitab Undang-undang Hukum Pidana Nasional untuk menggantikan Kitab undang-undang Hukum Pidana Peninggalan colonial Belanda dalam rangka Pembangunan hukum nasional
Di dalam fiqh jinayah (Hukum Pidana Islam), Menanggulangi kejahatan dilakukan secara lebih komperehensif, dari mulai memperkokoh keimanan, memperbaiki akhlak masyarakat, sampai menghilangkan sebab timbulnya kejahatan seperti kemiskinan, dan keterbelakangan dan memberikan sanksi yang memiliki daya preventif dan represif (al-raddu wa al-jazru).

Pemerintah Indonesia  sekitar tahun 2001 telah membuat rancangan Undang-Undang tentang kitab Undang-Undang Hukum Pidana ini terdiri dari 647 pasal, dan telah didiskusikan di berbagai lembaga perguruan tinggi, lembaga-lembaga keutamaan dan MUI, termasuk di MUI Jawa Barat pada tanggal 27 Juni 2002 yang merekomendasikan antara lain:
1.      Diterapkan lagi hokum pidana mati sebagai hukuman pokok dalam pembunuhan dan kejahatan-kejahatan yang berbahaya bagi masyarakat.
2.      Penindakan yang sama terhadap seluruh warga negara tanpa memandang jabatan/posisi sosial, politik, ekonomi (catatan untuk pembunuhan dengan motif politik diatur sendiri.)
3.      Diakui sanksi kompensasi jika pihak korban member pemaafan.
4.      Di dalam tindak pidana susila, sifat sanksi tidak alternative tapi harus komulatif
5.      Sanksi dikenakan terhadap semua pihak yang terkait dalam kejahatan susila.
Seperti kita ketahui, Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ini sampai sekarang masih tetap merupakan rancangan, artinya Kitab Undang-Undang hokum pidana yang berlaku di Indonesia sampai sekarang masih tetap warisan pemerintah colonial Belanda, meskipun ada beberapa pasal yang dihapus dan diubah.[13]


Revisi:
1.      Ini makalah terakhir, tetapi tidak ternyata masih tidak mengacu pada format makalah yang telah ditentukan. Apa yang diupload ini sudah agak saya perbaiki.
2.      Tidak ada pendahuluan dan kesimpulan.
3.      Dalam tulisan ilmiah, penulisan gelar (Prof. Dr. Ustadz, dll) ditiadakan.
4.      Daftar pustaka tidak ada.
5.       Ini “Ibrahin Anis, Al-Mu’jam al-Wasith, Juz 2, hal 763” mengacu ke mana??? Apakah benar Anda merujuk ke buku itu?
6.      Penulisan footnote masih salah, tolong diperbaiki lagi.

Meskipun makalahnya “berisi” tetapi apabila dibungkus dengan format yang tidak sesuai, maka hasilnya pun tidak akan bagus. Tolong apa yang saya sampaikan dipahami dengan baik, agar makalah yang Anda buat bisa bagus dan berkualitas.


[1] Prof. H. Mohammad Daud Ali, S.H, Hukum Islam: Penagntar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Isam di Indonesia, (Jakarta: PT. RAJAGRAFINDO,  2012 ) hal 53
[2] Ibid., hal 266-267
[3] Ibrahin Anis, Al-Mu’jam al-Wasith, Juz 2, hal 763
[4] Prof. H. Mohammad Daud Ali, S.H, Hukum Islam: Penagntar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Isam di Indonesia, (Jakarta: PT. RAJAGRAFINDO,  2012 ) hal 228
[5] Prof. H.A. Djazuli, ILMU FIQIH: Penggalian, Perkembangan, dan Penerapan Hukum Islam, (Jakarta: KENCANA, 2005), hal 163-166
[6] Ibid., hal 169
[7] Ibid., hal 169-171
[8] Dr. Abdul Gani Abdullah, SH, Pengantar Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Gema Insani Press, 1994), hal 61-62
[9] Prof. H. Mohammad Daud Ali, S.H, Hukum Islam: Penagntar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Isam di Indonesia, (Jakarta: PT. RAJAGRAFINDO,  2012 ) hal 297
[10] [10] Prof. H.A. Djazuli, ILMU FIQIH: Penggalian, Perkembangan, dan Penerapan Hukum Islam, (Jakarta: KENCANA, 2005), hal 177 - 182
[11] Ibid., hal 182-186
[12] Ibid., hal 187-192
[13] Ibid., hal 192- 195

Tidak ada komentar:

Posting Komentar